Sampah Mengubur Manusia, Haruskah Terulang Lagi?

Sumber:Suara Pembaruan - 11 April 2005
Kategori:Sampah Jakarta
Lazimnya, manusialah yang mengubur sampah. Tapi di Tempat Penampungan Akhir Sampah (TPA) Leuwigajah yang terletak di Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, Jawa Barat, malah membalikkan kelaziman tersebut. Manusia malah dikubur hidup-hidup oleh sampah.

Sekitar 143 orang dan 40 rumah terkubur oleh longsoran sampah yang menggunung pada 20 Februari lalu. Malapetaka ini merupakan musibah kedua terbesar di dunia setelah Filipina yang menelan ratusan jiwa. Lagi-lagi, Indonesia berduka.

Kekhawatiran inilah yang ikut mencuat di TPA Bantargebang Bekasi, yang dipakai oleh warga Jakarta membuang sampahnya ke sana. Seorang rekan wartawan cemas, kalau pengelolaan sampah itu tidak terkontrol dengan baik maka Leuwigajah jilid kedua bisa saja terjadi.

Lalu bagaimana mencari lokasi TPA yang aman sehingga fenomena manusia terkubur oleh sampah tidak terulang lagi?

Melalui Satelit

Langkah awal bisa menggunakan wahana penginderaan jauh (remote sensing), baik melalui foto udara maupun satelit. "Banyak manfaat bisa diraih dari informasi yang direkam dari langit," kata Dr Aris Poniman, surveyor yang kini menjadi Deputi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) kepada Pembaruan di kantornya Cibinong, Bogor, Senin (4/4).

Menurutnya, informasi yang ditampilkan dari rekaman satelit lebih komprehensif. Melalui citra itu bisa dipahami berbagai kondisi geografi dan kemiringan lahan secara lebih detail di lokasi yang disurvei. Tingkat kelandaian tanah dan jenis batuan ini penting untuk menghindari kemungkinan terjadi longsoran di kemudian hari dengan kian bertambahnya volume sampah.

"Kita juga akan tahu lebih jelas lagi seberapa jauh letak permukiman penduduk dari lokasi yang dicalonkan itu. Sehingga tidaklah bijaksana membangun TPA di tengah-tengah permukiman," ujar Aris.

Bakosurtanal misalnya sudah punya peta rupa bumi skala besar. Untuk kawasan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur, Bandung misalnya sudah tersedia peta rupa bumi skala 1:25.000. Skala ini bisa diperbesar lagi menjadi 1:10.000 sehingga bisa digunakan untuk menganalisis berbagai informasi kebumian.

Beragam informasi tersebut jika digabungkan dengan data jenis tanah, tata guna lahan, dan jenis batuan (apakah kedap air atau tidak) bisa menjadi langkah berharga dalam menentukan lokasi serta mendesain konstruksi bangunan TPA yang aman dan ramah lingkungan.

Tentu saja hal itu membutuhkan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu mulai dari surveyor, geolog, sosiolog, budayawan, arsitek, ahli lingkungan, ahli sampah, dan lain sebagainya. Sayangnya, pendekatan multi ilmu pengetahuan seperti ini memang belum terkoordinasi dengan baik.

Jadi, wajar ketika kebijakan yang diambil pun menimbulkan banyak kontroversi. Itulah yang kini terjadi di TPA Bantargebang.

Aroma Protes

Beberapa warga menilai, penentuan lokasi TPA tersebut tidak mencerminkan sebuah kebijakan yang matang. Ujung-ujungnya aroma protes pun terus mengalir deras.

Bahkan, bentrokan fisik antara warga dan petugas tak terhindarkan. Kalau sudah begini, rasa-rasanya sia-sia saja. Betapa tidak, instalasi tempat sampah yang dibangun dengan susah payah itu akhirnya dirusak massa. Untuk memulihkannya kembali dibutuhkan suntikan investasi lagi.

Bukan hanya itu, warga yang berada di kota pun ikut kecipratan sengsara. Pasalnya, bau busuk sampah kian menjalar di berbagai penjuru kota. Maklum, truk-truk yang akan membuang sampah ke TPA tersebut beberapa kali dihadang warga.

Apa boleh buat. Jadilah, Jakarta yang sudah sumpek dan kotor kian bertambah jorok. Inilah risiko yang harus ditanggung bersama karena memang kita selama ini tak mau peduli pada sampah. (B-12)



Post Date : 11 April 2005