Kehadiran sampah di beberapa kali di Jakarta memberikan dampak yang tidak baik bagi lingkungan. Namun, bukannya menyurut, jumlahnya malah meningkat fantastis dan terus memenuhi tempat saringan di pintu air.
Di Jakarta, tidak kurang dari 41 sistem pengairan beroperasi aktif setiap harinya. Dalam sistem pengairan itu, sungai menjadi salah satu komponen penting yang berfungsi sebagai pengalir aliran air.
Namun, apabila diamati, kebanyakan sungai di Ibu Kota kondisinya memprihatinkan. Aliran sungai yang idealnya lancar, malah terhambat akibat banyaknya tumpukan sampah di sungai.
Dohar Marbun, Koordinator Operator Saringan Sampah dari PT Asiana Technologies Lestary (ATL), sebuah perusahaan konstruksi yang berwenang terhadap pengoperasian mesin-mesin penyaring sampah di beberapa pintu air di Jakarta, menyebutkan volume sampah yang terbawa oleh kali atau sungai di Jakarta sangat mencengangkan.
Selama lima tahun terakhir, tidak kurang dari 76.385 meter kubik sampah diangkut dari mesin penyaring otomatis milik ATL. “Bila diambil contoh pada beberapa kali di Jakarta, Kali Cideng memiliki produktivitas sampah 3.098 meter kubik per bulan, Kali Palmerah 2.098 meter kubik per bulan, dan Kali Perintis di Jakarta Timur 950 meter kubik per bulan,” tuturnya.
Itu belum termasuk sampah yang mengumpul di Pintu Air Manggarai yang merupakan tempat saringan dari kali besar Ciliwung.
Penyaringan sampah dengan menggunakan mesin M-EH yang dilakukan ATL melingkupi 14 pintu air, yakni Pintu Air Pasar Ular, Lagoa Tirem, Spill Way Pluit, Teluk Gong, Kali Sentiong, Cengkareng Drain, Kali Mookervart, Sekretaris, Grogol, TB Simatupang, Cideng, Kali Baru Timur, Sunter, dan Pulo Mas.
Menurut Nurjanah, Kepala Pengumpulan dan Pengolahan Data Pemerintah Provinsi (Pemprov DKI Jakarta), pihaknya merilis data sampah di sungai-sungai Jakarta. Jumlahnya mencapai 768 meter kubik per hari.
Sampah-sampah itu berasal dari seluruh wilayah Jakarta yang produksinya dalam sehari bisa mencapai 6.000 ton atau 27.000 meter kubik. Jika dipersentasekan, jumlah sampah sungai di Jakarta mencapai sekitar 2,8 persen dari seluruh produksi sampah warga Ibu Kota.
Untuk sampah terapung yang bermula dari Teluk Jakarta, volumenya mencapai 20.428 meter kubik hingga 28.425 meter kubik per hari. Keseluruhan sampah itu merupakan bawaan dari 13 aliran sungai yang berhulu di Puncak, Bogor.
Meski demikian, tetap saja sebagian besar sampah yang teronggok di sungai merupakan hasil perbuatan warga yang membuang sampah di sungai.
Persoalan sampah juga mendapat perhatian Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Data yang dilansir DPU menyebutkan 1.072 meter kubik sampah diproduksi per harinya.
Sampah-sampah itu merupakan hasil aktivitas warga yang setiap individunya menyumbang sekitar 2,5 liter sampah per hari atau 0,0025 meter kubik per hari.
Apabila diasumsikan jumlah warga DKI Jakarta 12 juta jiwa, volume sampah seluruhnya dapat mencapai 30.000 meter kubik per hari.
Dari jumlah itu, sekitar enam persennya atau 1.800 meter kubik per hari masuk ke sungai. Berdasarkan pantauan DPU, panjang sungai di Jakarta sekitar 382 kilometer yang terbagi di lima kotamadya.
Dari kelima wilayah itu, sumbangan sampah terbesar berasal dari Kodya Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Pihak DPU memperkirakan menumpuknya sampah di wilayah Jakarta Utara dikarenakan wilayah itu menjadi tempat berkumpulnya muara dari berbagai hulu sungai.
Bukan hanya itu, lingkungan yang jorok menjadi faktor lain yang memengaruhi banyaknya sampah di sungai-sungai Jakarta Utara.
Sementara itu, di Jakarta Barat, penumpukan sampah di sungai disebabkan banyaknya permukiman warga. Jenis sampah yang sering ditemui adalah sampah rumah tangga dan limbah cair yang biasanya berasal dari pabrik.
Menguras APBD
Besarnya volume sampah yang menumpuk di sungai-sungai Jakarta telah menyedot dana APBD sebesar 67 miliar rupiah.
“Semuanya dialokasikan untuk pengelolaan dan pemeliharaan sampah di Jakarta,” kata Kepala Bagian Pemeliharaan Sumber Daya Air DPU Pemprov DKI Jakarta Tarjuki.
Selain melibatkan pihak DPU, upaya penanggulangan penumpukan sampah itu melibatkan Suku Dinas Pekerjaan Umum dari lima kotamadya.
Setidaknya, 1.730 tenaga kerja diperbantukan untuk menangani 1.395 meter kubik sampah per hari.
“Dari 1.800 meter kubik sampah sungai, yang sudah tertangani sebanyak 1.395 meter kubik. Sisanya, 405 meter kubik, masih berupa endapan sedimentasi di dasar sungai,” papar Tarjuki.
Pengangkatan endapan yang ada di dasar sungai biasanya dilakukan dengan cara pengerukan menggunkan eskavator. Model pengerukan itu sangat bergantung pada kecepatan endapan.
Tarjuki mengatakan mulai tahun ini laju sedimentasi di sungai akan diteliti agar pengerukan bisa dilakukan tepat waktu. Semua sampah itu kemudian dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Dalam mengatasi masalah sampah, DPU menyerahkannya pula pada pihak kontraktor. Misalnya, ATL dipercaya untuk melakukan proses penyaringan sampah dan PT Leo Tunggal Mandiri untuk mengangkut sampah dengan menggunakan truk dan menyediakan eskavator.
Khusus tahun 2009-2010, kata Tarjuki, proyek itu akan diserahkan kepada pemenang lelang, yaitu PT Guna Karya Nusantara.
Penggunaan teknologi untuk mengelola sampah, menurut Tarjuki, sebenarnya sudah cukup ideal. “Masing-masing daerah sudah memperhatikan kelangsungan kondisi sampah di daerahnya, seperti diadakannya sekat di pintu air, saringan otomatis, bahkan ada yang secara manual memungutinya satu per satu,” terangnya.
Lebih jauh, Tarjuki menjelaskan dalam pengelolaan sampah ada pembagian tugas bagi masing-masing instansi.
Pembersihan sampah yang ada di badan sungai menjadi tugas DPU, dan sampah yang ada di darat merupakan tanggung jawab Dinas Kebersihan. Hal yang masih menjadi kendala selama ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai.
“Padahal, andaikan kesadaran masyarakat itu dapat ditingkatkan, dana sebesar 67 miliar rupiah itu bisa dialokasikan untuk berbagai kepentingan lainnya yang berkorelasi dengan pendidikan atau kesehatan,” ujar Tarjuki. (hag/L-2)
Post Date : 04 September 2009
|