|
Bau busuk sampah adalah berkah. Bukit-bukit sampah menghasilkan rupiah, itu hanya bisa terjadi kalau sampah diolah. Bagi Imam Rusyanto (33) dan ratusan pemulung, bukit sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, adalah sumber uang. Paling sepi seminggu dapatnya satu kuintal plastik kresek dan satu kuintal botol plastik,” kata lelaki asal Banjarnegara, Jawa Tengah, itu. Setelah dipilah dan dibersihkan, plastik dan kresek itu dijual dua minggu sekali. Itu berarti 42 lembar uang Rp 10.000 akan diperoleh Imam yang sudah empat tahun ini memulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu. Kerja keras sehari-hari yang dilakoni Imam dan ratusan pemulung dengan cara mengumpulkan sampah plastik, besi, dan kertas hanya mengurangi tidak lebih dari 25 persen dari kira-kira 1.700 ton sampah baru yang ditimbun ke TPA Sumur Batu setiap harinya. ”Sekitar 70 persen sampah yang dihasilkan dari aktivitas warga perkotaan adalah sampah organik,” kata Ketua Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Persampahan Nasional Bagong Suyoto ketika ditemui pada Sabtu (9/8). Sisa sampah organik tersebut tidak dipulung Imam dan kawan-kawannya. Sampah-sampah organik itu ditumpuk kemudian ditimbun dengan tanah merah. Sanitary landfill atau sistem pengolahan sampah model pengurukan. Cara tersebut dilakukan di TPA Sumur Batu selama ini. Hasilnya, muncul bukit-bukit sampah setinggi 13 meter di lahan seluas kira-kira 10 hektar. Sampah organik adalah sampah yang mudah membusuk. Bau busuknya menyengat dan mengundang hadirnya lalat. Di dalam tumpukan sampah busuk yang baunya menyengat itu tersimpan gas metana (CH4). Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Program Lingkungan (UNEP) menyatakan, gas metana adalah salah satu jenis gas yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas metana 20 kali lipat lebih berpotensi merusak atmosfer dibandingkan dengan gas karbon dioksida (CO2). Bernilai ekonomi Bau busuk itu yang kini justru diburu oleh Pemerintah Kota Bekasi. Mulai tahun 2007, Pemkot Bekasi bekerja sama dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia membangun fasilitas dan instalasi pengolahan gas metana, landfill gas flaring (LGF), di TPA Sumur Batu. Gikoko menanam modal puluhan miliar rupiah untuk membangun fasilitas dan instalasi pembakaran gas metana di lahan penampungan sampah milik Pemkot Bekasi. Puluhan ribu ton gas metana yang terkandung di bukit sampah akan dibakar. Kegiatan ini bagian mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) yang dikampanyekan dalam Protokol Kyoto untuk menyelamatkan bumi. Secara sederhana, prinsip dasar dari proyek CDM di TPA Sumur Batu dengan teknologi LGF adalah mengumpulkan gas metana, menyalurkannya ke tungku pembakar, dan membakar gas tersebut. Untuk memaksimalkan pengumpulan gas metana dari tumpukan sampah itu, bukit sampah ditutup rapat dengan terpal plastik tebal. Di dalam timbunan sampah atau disebut sel dipasangi pipa-pipa berukuran besar yang berfungsi menyalurkan gas metana ke tanur. Gas metana yang akan masuk ke tanur dan gas karbon dioksida yang dihasilkan dihitung jumlahnya. Hasil penghitungan tersebut kemudian dilaporkan secara rutin ke Bank Dunia untuk memperoleh sertifikat pengolahan yang kemudian dijual ke negara-negara industri maju (Annex 1). Koordinator Sektor Lingkungan Hidup dari Bank Dunia, Josef Leitmann, ketika ditemui dalam peresmian proyek LGF di TPA Sumur Batu pada awal Juli mengatakan, harga kredit karbon dunia kini paling rendah 10 euro per tonnya. Hasil pengolahan gas metana di TPA Sumur Batu akan dibeli pihak Netherland Clean Development Mechanism Facility, yang diwakili oleh Bank Dunia. Mereka sudah meneken kontrak dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia untuk membeli 250.000 ton CO2 hasil pembakaran gas metana di TPA Sumur Batu sampai tahun 2012. Dalam kontrak kerja sama Pemkot Bekasi dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia, Pemkot Bekasi mendapat bagian 17 persen dari hasil penjualan gas karbon dioksida hasil pembakaran gas metana di TPA Sumur Batu. Timbunan sampah di TPA milik Kota Bekasi itu berpotensi menghasilkan gas metana setara 50.000 ton CO2 setiap tahun. Pemkot Bekasi berpeluang memperoleh pendapatan kira-kira 85.000 euro, atau lebih dari Rp 4,2 miliar setiap tahun, dari tumpukan sampah di TPA Sumur Batu. Separuh pendapatan itu digunakan untuk membiayai program pemberdayaan masyarakat di sekitar TPA Sumur Batu. Sebagian lainnya digunakan Pemkot Bekasi untuk memperbaiki sarana pengangkutan dan pengumpulan sampah kota. ”Kami berusaha menangkap semangat dunia melalui pengelolaan sampah di TPA Sumur Batu,” kata Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pemkot Bekasi Dudy Setiabudhi awal Agustus. TPA Sumur Batu berlokasi di Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang. Letaknya berdekatan dengan TPA Sampah Bantar Gebang milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selama ini TPA Sumur Batu hanya menampung sampah dari Kota Bekasi. Dengan penduduk lebih dari dua juta orang, Kota Bekasi menghasilkan 1.700 ton sampah setiap hari. Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohamad mengatakan, apabila proyek LGF di TPA Sumur Batu dapat beroperasi tahun ini, Kota Bekasi akan mulai kekurangan sampah pada tahun 2009. ”Bekasi siap menampung sampah dari daerah tetangga,” kata Mochtar ketika ditemui pada Selasa (5/8). Mochtar menambahkan, Pemkot Bekasi kini sedang menjajaki peluang mengolah sampah kota menjadi sumber energi listrik. ”Kami memandang sampah bukan lagi sebagai masalah, melainkan sebagai sumber ekonomi baru,” ujar Mochtar. Tahap peresmian instalasi dan fasilitas LGF di TPA Sumur Batu sudah dilewati. Menurut Dudy, tahap selanjutnya adalah registrasi proyek di Dewan Eksekutif Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Dalam sambutan saat meresmikan instalasi Landfill Gas Flaring di TPA Sumur Batu awal Juli, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyatakan harapannya agar langkah Pemkot Bekasi juga diikuti pemerintah daerah lainnya, misalnya Pemerintah DKI Jakarta dengan TPA Bantar Gebang. (Cokorda Yudistira) Post Date : 28 Agustus 2008 |