|
Sebenarnya pantai ini indah dan karang-karang bawah lautnya pun tak kalah indah dari tempat diving di daerah lain. Dalam brosur tempat-tempat diving di seluruh dunia, Latuhelut salah satu yang tercatat di dalamnya. Sayangnya sekarang banyak sampah, kata seorang wisatawan asal Jakarta yang ditemui di Pantai Latuhelut, Ambon, akhir Desember lalu. Wisatawan lain pun sepakat akan pendapat itu. Si wisatawan bertutur soal perahunya yang dipakai pergi menyelam yang terhenti karena baling-balingnya tersangkut sampah. Sampah juga ada di bawah laut yang mengganggu keindahan bawah laut. Persoalan besar Di tengah situasi Ambon yang kian kondusif pascakonflik, sampah menjadi satu bidang kehidupan yang terabaikan dan menjadi persoalan besar. Mereka yang baru tiba di Ambon akan langsung mengeluhkan persoalan sampah. Sampah ada di mana-mana. Di saluran air terbuka dan saluran tertutup, di sepanjang pesisir pantai nyaris semua dinodai sampah. Contoh nyata adalah saat petugas membersihkan saluran air tertutup di daerah Soya. Di saluran sedalam satu meter dan lebar 1,2 meter sepanjang 100 meter, sampahnya lebih dari 20 truk. Itu dari saluran sepanjang 100 meter. Bisa dibayangkan berapa banyak sampah di seluruh saluran air, ujar Wali Kota Ambon Jopie Papilaya. Jopie mengungkapkan, lebih dari 50 persen saluran air di dalam Kota Ambon dipenuhi sampah mulai dari plastik, sisa bangunan, hingga lumpur. Sebagian menyumbat saluran, sebagian lainnya mengalir ke laut dan mengotori pesisir pantai. Padahal, Ambon adalah pulau yang dikelilingi lautan dan teluk. Sekarang kalau ke pantai tidak indah lagi karena banyak sampah dan bau. Terutama di muara, tumpukan sampah sangat banyak. Padahal dulu (Ambon) sangat bersih, kata Insany, warga Desa Batu Merah. Kondisi itu kian diperparah dengan minimnya sarana angkutan sampah Pemerintah Kota Ambon. Dengan volume sampah 430 meter kubik/hari, dengan tiga truk, enam dump truk, dan sembilan pikap yang ada, hanya sekitar 332 meter kubik atau 77 persen sampah yang terangkut per hari. Belum lagi bicara soal sampah di saluran. Bisa diduga, kini sekecil apa pun hujan, akan segera muncul genangan. Ini merupakan pemandangan baru di Ambon. Ancaman banjir Akibat ikutan lainnya adalah ancaman banjir karena sebagian besar daerah resapan air, sudah berubah menjadi permukiman. Hutan-hutan di kawasan hutan lindung dan daerah hijau lainnya, banyak yang dibabat dan berganti menjadi permukiman pengungsi. Pascakonflik, pola permukiman pun berubah, pengungsi yang terkonsentrasi di dalam kota juga memiliki andil pada munculnya masalah sampah. Budaya bersih pun hilang. Saya heran, pascakonflik warga Ambon kehilangan budaya bersihnya. Saya heran, dulu warga di sini terkenal pembersih, rapih, dan mencintai keindahan, kata Jopie. Dia menegaskan akan membuat peraturan yang bisa bersifat terapi kejut. Dia mengakui, fokus pemerintah pascakonflik adalah pemulihan trauma konflik dan mengembalikan hubungan antarwarga yang bertikai. Banyak hal terabaikan. Setelah situasi mulai kondusif dan hubungan antarwarga mulai pulih, fokus beralih ke sektor ekonomi. Pascakonflik warga hidup dalam ketidakteraturan. Pemkot Ambon bekerja sama dengan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk sistem pengelolaan sampah terpadu. Sampah plastik akan dijadikan bahan baku untuk industri, sementara sampah organik dibuat pupuk. UNDP memberi dana hibah 8 juta dollar AS. Lokasinya kami pilih di Toisapu seluas lima hektar. Setidaknya dalam tiga bulan ke depan bila amdal sudah selesai, kami akan segera membangun Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu di tempat itu, kata Jopie. Soal drainase, akan dijajaki kerja sama dengan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).Reny Sri Ayu Taslim Post Date : 23 Januari 2006 |