Sampah Membelit Pemekaran

Sumber:Kompas - 18 Januari 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Kisruh soal sampah di Kota Tangerang Selatan menunjukkan tak mudah mengelola kota hasil pemekaran suatu wilayah. Setidaknya ini menjadi pelajaran mahal. Membentuk wilayah baru tak semata membagi kekuasaan dan keuangan, tetapi butuh komitmen kuat guna mewujudkan tujuan awal pemekaran.

Seperti anak ayam kehilangan induk, demikian kondisi Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang sedang didera soal sampah. Sejak 5 Januari, Pemerintah Kota Tangsel dilarang membuang sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatiwaringin Kecamatan Mauk. TPA itu milik Kabupaten Tangerang yang dulu induk Tangsel.

Tak hanya itu, sejak 31 Desember 2009, Pemerintah Kabupaten Tangerang menghentikan kerja sama pelayanan sampah dengan Pemkot Tangsel. Hal itu dilakukan karena pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 2010, Pemkab Tangerang tak lagi menganggarkan pengangkutan sampah di Tangsel. Anggaran operasional pengangkutan sampah di wilayah kota baru ini besarnya Rp 167 juta per bulan.

Penghentian kerja sama mencakup pelarangan Tangsel membuang sampah ke Kabupaten Tangerang dan penarikan 38 armada angkutan sampah yang selama ini diperbantukan.

Akibatnya, kini sampah menumpuk di banyak titik di Tangsel. Di pasar, median jalan, tepi jalan utama, dan permukiman warga. Keadaan ini bakal berdampak pada kesehatan masyarakat dan mengganggu estetika.

Kekisruhan rupanya berawal dari upaya pemerintah sementara Kota Tangsel yang dipimpin penjabat Wali Kota Shaleh MT untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi dan perizinan sejak Januari 2010. Pemkot setempat membentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu untuk melayani izin baru dan perpanjangan izin. Warga Kota Tangsel tak lagi harus ke kantor Pemerintah Kabupaten Tangerang di Tigaraksa, tetapi cukup mengajukan dan memperpanjang izin di kantor Pemkot Tangsel di Pamulang.

Tahun 2010, Tangsel menargetkan pencapaian PAD dari sektor perizinan sekitar Rp 21 miliar, 50 persennya dari izin mendirikan bangunan. Sejak Agustus 2009, Kota Tangsel mulai mengutip retribusi perizinan yang sebelumnya dikelola Pemkab Tangerang. Dari sekitar 1.500 perizinan yang terbit hingga Desember 2009, Tangsel mendapat pemasukan sekitar Rp 7,9 miliar ke PAD.

Menuai protes

Pemungutan sejumlah PAD ini menuai protes. Pemkab Tangerang memandang Pemkot Tangsel belum berhak mengurus perizinan dan mengambil sejumlah retribusi. Apalagi Tangsel belum punya wakil rakyat. Pemkab khawatir akan ada penyalahgunaan anggaran.

Adapun Pemkot Tangsel memandang langkah mereka sesuai Undang-Undang tentang Otonomi Daerah serta didukung Menteri Dalam Negeri lewat surat bernomor 061/2671/SJ tanggal 17 Juli 2009, antara lain, berisi izin pengambilan retribusi.

”Kami tetap beri laporan keuangan, bahkan sudah menandatangani MOU (nota kesepahaman) dengan Kejaksaan Negeri Tangerang,” kata Shaleh MT beberapa waktu lalu.

Namun, ketidaksepakatan soal itulah yang ditengarai menjadi penyebab pemutusan kerja sama pengangkutan sampah oleh Pemkab Tangerang. Ini dibenarkan pejabat Pemkab Tangerang, apalagi mengingat tujuh kecamatan yang kini menjadi Kota Tangsel merupakan penyumbang PAD terbesar Pemkab Tangerang.

Lebih kurang 40 persen dari total sumber PAD Pemkab Tangerang berasal dari wilayah yang saat ini menjadi otoritas Tangsel. Dari Rp 2 triliun pendapatan Pemkab Tangerang, hampir Rp 1 triliun berasal dari Tangsel.

Sumber pajak dan retribusi daerah Tangsel, antara lain, kawasan perumahan Bumi Serpong Damai, Bintaro, dan Alam Sutra, Pamulang.

Padahal, seharusnya pemkab mengayomi ”anaknya” Tangsel selama dua tahun. Bukan merecoki hanya gara-gara kehilangan ”kue” miliknya yang telah diambil Pemkot Tangsel.

Polemik sampah membuat masyarakat mulai terganggu kehadiran belatung dan bau tak sedap, bahkan benturan dengan pemkot lain. Senin dini hari, dua truk sampah milik Tangsel ditangkap karena ketahuan membuang sampah tanpa izin di Kota Tangerang (Kompas, Rabu (13/1).

Staf ahli Wali Kota Tangsel, Ayi Ruhiyat, berpendapat, sebenarnya inti dari masalah sampah hanya soal komunikasi dan koordinasi antara Pemkab Tangerang dan Pemkot Tangsel. Ia mengibaratkan seperti seorang anak yang menikah, lalu memutuskan pisah dari orangtuanya.

Selain itu, lanjut Ayi, selama ini manajemen pengelolaan sampah memang belum tertata baik. ”Ke depan, potensi retribusi sampah akan makin besar sehingga perlu manajemen pengelolaan sampah terpadu,” paparnya.

Pemkot Tangsel hingga kini belum menemukan tempat pembuangan akhir sampah warganya. Sejumlah alternatif TPA, seperti Gunung Sindur di Kabupaten Bogor, bahkan warga Cipeucang, yang notabene masuk wilayah Tangsel sendiri, juga ditolak warga setempat.

Melihat kondisi itu, mantan Ketua Komite Gerakan Pembentukan Tangsel Basuki Rahardjo Notodisuryo menyatakan prihatin. ”Kok kesannya kayak rebutan tulang. Mari kita kembalikan lagi kepada tujuan semula pembentukan Kota Tangsel,” ujarnya, Minggu.

Sejak awal menggagas pembentukan Tangsel bersama Hidayat, keduanya menginginkan wilayah Ciputat, Pamulang, Serpong, Pondok Aren, Pagedangan, Cisauk, dan lainnya yang bak wilayah tak bertuan bisa menjadi kota mandiri. Pergerakan warga dan kemajuan ekonominya membuat wilayah itu tumbuh hampir sama tinggi seperti wilayah Jakarta.

Maka, digagaslah sebuah kota baru yang diharapkan membawa kesejahteraan warganya sekaligus mampu menjadi penyangga Ibu Kota. Karena itu, Tangsel perlu punya TPA sendiri. Ironis bila pemekaran hanya menjadi komoditas ekonomi dan politik, termasuk bila ada unsur rebutan kuasa di baliknya. PINGKAN ELITA DUNDU dan SOELASTRI SOEKIRNO



Post Date : 18 Januari 2010