|
Di Kabupaten Malang, Jawa Timur, sampah yang hampir selalu menimbulkan persoalan justru menjadi peluang kerja dan penghasilan. Dari pengolahan sampah, para ibu rumah tangga bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Bahan bakar tersedia gratis dan persoalan lingkungan pun terkurangi. Ibu Tumisri (33), warga kampung Sumbersekar, Desa Mulyo Agung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, sekarang mempunyai penghasilan tambahan dari mengelola sampah. Ia bisa mengantongi uang Rp 650.000 per bulan. Nilai Rp 650.000 bagi Ibu Tumisri sama dengan sebulan keperluan dapurnya, atau 50 persen dari gaji suaminya. Dengan uang tambahan itu, kini dia lebih leluasa berbelanja kebutuhan dapur. Tidak hanya Bu Tumisri, Bu Jumani (40) pun menikmati hasil uang ”sampah”. Sudah enam bulan lamanya Bu Jumani bekerja sebagai pemilah di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Desa Mulyo Agung, Kecamatam Dau, Malang. Sebelumnya, ia tidak punya penghasilan sama sekali dan hanya menggantungkan gaji suami. Sampah juga menjadi penghasilan bagi 54 kaum ibu lainnya. Pekerjaannya sederhana, hanya memilah sampah yang sudah terkumpul di TPST setiap hari. Di Desa Mulyo Agung setiap hari ada 2 ton hingga 2,5 ton sampah yang dibuang. Dari tumpukan sampah itu, 80 persen bisa digunakan kembali. Kaum ibu biasa memilah sampah dari jenis kertas, plastik, karet, bahan organik, dan kaca. Sampah dari kertas ada 12 jenis, sedangkan dari kaca biasanya terdiri atas tiga macam, dan masih banyak jenis lain untuk plastik dan lain-lain. Pemilahan jenis sampah itu berdasarkan dari bahan dan nilai jualnya. Sampah kardus misalnya, Rp 1.300 per kilogram (kg), sedangkan koran Rp 1.600 per kg. Pekerjaan para ibu itu sekilas mirip pemulung, tetapi sistem kerjanya lebih sistemik dan terarah. Mereka khusus memisahkan sampah dari TPST yang merupakan pusat pengumpulan sampah se-desa. Pekerjaan mereka dimulai dari pagi, seusai seluruh sampah diangkut, hingga seluruh sampah selesai dipilah. Biasanya 5-7 jam sehari. Sampah yang masih bernilai itu pun dipak lalu didaur ulang dengan mesin pembuat pupuk organik di TPST atau dijual ke pengepul. Hasil dari kerja itu, mereka mendapatkan penghasilan bervariasi, Rp 650.000-Rp 900.000. Itu belum termasuk hasil pengolahan sampah yang dikerjakan sendiri di rumahnya. Tersebar TPST tidak hanya ada di satu desa, tetapi juga dilakukan di tujuh desa di Malang. Nantinya, menurut Koderi, Kepala Seksi Pengolahan Sampah, Dinas Cipta Karya Kabupaten Malang, setiap desa akan memiliki TPST. Pemerintah Kabupaten Malang awalnya membuat sistem pengolahan sampah terpadu untuk mengatasi persoalan lingkungan. Menurut dia, dulu warga hanya membuang sampah di Sungai Brantas. Akibatnya, pencemaran di sungai itu tinggi. Kini TPST berkembang, tak sekadar meminimalisasi persoalan lingkungan, tetapi juga mampu meningkatkan taraf hidup warga setempat. Di Desa Mulyo Agung misalnya, TPST tingkat desa menghasilkan uang Rp 13 juta-Rp 14 juta per bulan. Padahal biasanya pengelolaan sampah tidak menghasilkan, justru menyedot anggaran yang tidak kecil. Uang senilai Rp 13 juta itu sebagian dipakai untuk membayar para pengangkut sampah dan pemilah sampah. Selain itu, dana dikelola untuk pengembangan TPST lebih lanjut. Pengembangan TPST berupa pembuatan kompos, penanaman sayur-mayur, dan budidaya ikan. Dari 2 ton sampah dihasilkan tak kurang dari 5 kuintal kompos. Sebagian besar kompos dijual, tetapi ada pula yang dibagikan kepada warga. Tiap kepala keluarga (KK) berhak mendapatkan satu kantong berisi kompos 10 kg. Liati (32), salah satu pekerja pemilah sampah dari Dusun Jetak Lor, Desa Mulyo Agung, bisa menggunakan kompos itu untuk memupuk sederet tanaman cabai di rumahnya. Kini tanaman cabai itu bisa dipanen hampir setiap minggu. ”Kalau dulu pusing beli cabai saat harga tinggi, kini tinggal petik saja. Kadang malah saya bagi kepada tetangga,” ungkapya. Selain kompos, ada pula budidaya ikan nila 6.000 ekor. Pakannya berupa sampah bekas makanan dan larva lalat yang banyak didapat pada TPST. Panen perdana dari budidaya ikan ini dilakukan Maret ini. ”Rencananya panen pertama ini hanya kami bagikan kepada para pekerja di sini. Selanjutnya baru kami kembangkan lebih besar,” kata Koderi. Pemanfaatan sampah tak hanya dilakukan di lingkungan desa, tetapi juga di tingkat akhir. Sampah sisa dari TPST desa yang sudah tidak ada nilainya lagi dibawa ke tempat pengelolaan akhir (TPA), salah satunya di Talangagung. Sampah-sampah yang tidak terpakai akan ditimbun dan kemudian ditutup dengan tanah agar tak menimbulkan bau. Dari timbunan sampah itu, warga menyelipkan pipa yang kemudian dialirkan ke pusat pemilahan gas. Dari situlah gas metan bisa ditangkap. Gas metan ini yang dimanfaatkan warga sebagai sumber energi. Tercatat ada 50-an KK yang bisa menikmati aliran gas tersebut. Itu belum termasuk warga yang mengambil sendiri gas metan dengan plastik atau memanfaatkan hasil komposing sampah rumah tangga mereka. Selain gas metan, di TPA Talang Agung juga dikembangkan pembibitan perkebunan organik yang hasilnya dinikmati warga, dan rencananya akan dijual ke pasar organik. Kini, setidaknya ada 500-an KK yang menikmati hasil pengolahan sampah dari tujuh TPST dan empat TPA di kabupaten Malang. Mereka tak hanya menikmati dalam bentuk uang, tetapi juga bahan bakar gratis, pupuk, dan hasil perkebunan. Alokasi anggaran Pemkab Malang kini memprioritaskan penanggulangan sampah untuk mengimbangi perkembangan daerah. Awalnya, pemkab hanya mengalokasikan dana senilai Rp 96 juta untuk penanggulangan sampah, tetapi pada tahun 2011 melonjak menjadi Rp 1,2 miliar, diambil dari pos dana Dinas Cipta Karya yang juga membawahi penanganan sampah. Lonjakan dana sebesar itu salah satunya digunakan untuk membangun lebih banyak TPST yang mandiri, membangun infrastruktur, membeli perlengkapan perancah sampah, termasuk pelatihan komposing warga. Proyek penanggulangan sampah ini digenjot seiring dengan pengembangan sektor industri, perdagangan, dan jasa. ”Kami melihat potensi persoalan yang bisa ditimbulkan sampah dari sektor itu. Kami tidak ingin seperti kota-kota besar lain yang maju tetapi persoalan sampahnya tak terselesaikan,” kata Herudi Nehrudin, Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kabupaten Malang. Sektor industri, perdagangan, dan jasa merupakan penunjang perekonomian terpenting Kabupaten Malang setelah sektor pertanian. Tiga sektor itu berpotensi menyumbang sampah hingga 1.000 meter kubik per hari. Dengan berpenduduk hampir Rp 2,5 juta jiwa, jumlah sampah rumah tangga yang dihasilkan mencapai 5.000 meter kubik per hari. ”Kami tidak mungkin mengubur semua sampah tersebut di TPA. Karena itu butuh sistem pengolahan sampah terpadu yang juga bisa memberikan nilai tambah bagi warga kami,” ujar Koderi. Siwi Yunita Cahyaningrum Post Date : 12 Maret 2012 |