|
KEDIRI- Volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Kediri, ternyata, cukup besar. Setiap hari, rata-rata, mencapai 600 kubik. Sebanyak 80 persen berasal dari rumah tangga sedangkan sisanya merupakan sampah industri. "Semua dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) Klotok. Untuk sampah industri langsung diangkut oleh perusahaan masing-masing. Sedangkan yang lain ditangani oleh DKLH (dinas kebersihan dan lingkungan hidup)," ujar Kepala DKLH Kota Kediri Nur Ali kepada wartawan koran ini kemarin. Menurut Nur Ali, kesadaran warga terhadap kebersihan lingkungan masih rendah. Banyak di antara mereka yang membuang sampah bukan pada tempatnya. Paling rawan adalah Jl Dhoho, Jl Sam Ratulangi, dan Jl HOS Cokroaminoto, terutama daerah di sekitar pasar. Biasanya, lanjut dia, ada sejumlah warga yang sekadar lewat lalu langsung melemparkan sampah yang sudah dibawanya dari rumah. Akibatnya, lokasi-lokasi tersebut sering menjadi tempat penampungan sementara (TPS) seperti yang pernah terjadi di Jl Imam Bonjol dan Jl Tembus Kaliombo. Mantan kabag kepegawaian ini mengungkapkan, dengan volume sampah sebesar itu, TPA Klotok diperkirakan masih dapat digunakan hingga lima tahun ke depan. "Kalau setelah lima tahun kondisi TPA sudah tidak memungkinkan, akan diperluas lagi," ungkapnya. Lebih lanjut dijelaskannya, lahan TPA Klotok yang dipakai saat ini seluas 2,5 hektare dan masih ada 3 hektare yang belum digunakan. Lahan tersebut dibangun sejak 1990. Setiap hari, ada delapan dump truck, empat amrol, dan dua truk biasa yang mengangkut sampah dari 16 tempat penampungan sementara (TPS) di tiga kecamatan. Satu dump truck biasanya harus kembali tiga hingga empat kali. Selanjutnya, sampah-sampah tersebut diolah melalui proses sanitary land fill. Setelah diturunkan, sampah dipilah-pilah oleh para pemulung yang berjumlah sekitar 50 orang hingga tinggal sampah organik. "Lalu, sampah diuruk tanah. Baru kemudian dikeraskan dengan alat berat," jelasnya di lokasi TPA Klotok. Cara pengolahan ini, kata Nur Ali, merupakan yang paling efektif karena mudah, murah, dan sesuai dengan kondisi daerah. Dalam skala kecil, DKLH telah melakukan pengolahan sampah dengan melakukan daur ulang di Unit Daur Ulang dan Pengolahan Kompos, Banjaran. "Hasil yang diperoleh adalah pupuk dari bahan organik yang dikhususkan untuk pupuk bunga dan dijual Rp 500 per kantong," katanya. Sementara itu, Solekan, 24, pemulung asal Kelurahan Pojok, Mojoroto, mengaku setiap hari rata-rata bisa mendapat Rp 15 ribu. "Saya bisa memperoleh plastik bekas sampai sepuluh kilo," ungkapnya. (dea) Post Date : 12 April 2005 |