Sampah Kertas Tambang Duit

Sumber:Suara Merdeka - 14 Mei 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
PENGELOLAAN sampah jika tidak dipikirkan sejak dini, akan menjadi bom waktu, selama pemerintah selalu menjadi sasaran ketidakberesan pengelolaan limbah itu. Di sisi lain, pemerintah membantah tudingan tersebut dengan dalih keterbatasan dana dan sumber daya manusia (SDM).

Bahkan, pemerintah sering kali kemudian menyalahkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap tingkat kepedulian mengenai kebersihan. Lingkaran itu terus berputar, tidak diketahui lagi pangkal dan ujungnya.

Di tengah carut-marutnya pengelolaan sampah, H Sudirman (40) justru sudah lebih dari 10 tahun mengakrabi dan mengelola sampah menjadi sumber penghasilan dengan bendera usahanya Mitra Jaya Utama. "Saya hanya memilah-milah kertas yang sudah tidak terpakai, kemudian dipres sesuai dengan jenisnya," kata warga Desa Jatikulon, Kecamatan Jati, Kudus itu.

Kertas bekas yang telah ditata tersebut kemudian dijual ke pabrik-pabrik kertas di Pati dan Kudus. Baku kertas untuk produksi daur ulang itu didapatkannya tak hanya dari Kudus, tetapi juga dari Cirebon dan Jakarta.

Begitu sampai di gudangnya, di Dukuh Kencing, Desa Jatikulon, kertas tersebut kemudian dipilah-pilah dan dipres. Terdapat kurang lebih 13 jenis kertas yang ditampung di gudang berukuran 23 m2.

Beberapa di antaranya adalah jenis paper tube (berbentuk silinder), kertas bekas kalender (art paper), dan juga sak semen.

Selain itu ada kertas bekas arsip kantor dan buku tulis. Bahkan dia juga menerima kertas kotor bekas pembungkus makanan. Untuk kertas koran, karena pabrik yang dipasoknya tidak membutuhkan, dia kurang berminat untuk menampung. Kalaupun ada yang memasok akan dibelinya dengan harga rendah.

Kertas HVS polos, ungkapnya, baik utuh maupun potongan dihargai paling tinggi. Kertas yang tergabung dalam jenis marga campur seperti bekas sampul buku, mempunyai harga terendah.

Setelah kertas terkelompok sesuai dengan jenisnya, kemudian dipres menggunakan kotak kayu ukuran 50 x 60 x 70 cm3. Dengan hanya diinjak-injak, kertas dipadatkan dan kemudian diikat menggunakan tali. Satu ikatan seberat 60-70 kg kemudian diangkut ke truk, dan selanjutnya dibawa ke pabrik kertas.

Di gudang yang dapat menampung 50 ton kertas tersebut, terdapat 14 pekerja dan ada satu karyawan wanita, sebagai administrasi. Dilengkapi tiga armada truk, usaha yang bermula dari empat karyawan itu dalam sehari bisa memasok kertas ke pabrik 15 ton.

Usaha tersebut berisiko kerugian kecil. Penyebab kerugian biasanya adalah bencana banjir.

"Harga jual kertas yang sudah terendam air, menurun drastis," jelas Sudirman. Namun, gudang kertasnya belum pernah mengalami bencana tersebut.

Pria yang dikaruniai dua anak itu menceritakan, saat banyak orang mengeluh ketika krisis moneter, keuntungan yang diperolehnya justru meningkat. Hal tersebut disebabkan harga jual ke pabrik naik, sedangkan dia membeli kertas dari pemasok dengan harga tetap.

Kini, Sudirman mampu menambah lagi satu unit gudang. "Kalau ada rezeki, saya ada keinginan membeli tanah dan membangun gudang. Untuk satu unit gudang dibutuhkan uang sekitar Rp 200 juta," ungkapnya. Selama ini dia masih menempati gudang sewa. (Satryani Kartika Ningrum-15s)

Post Date : 14 Mei 2005