Persoalan sampah bukan sekadar kebersihan semata. Sebab, bagi mereka yang terlupakan, sampah adalah soal peradaban.
Wajah Nyoman (47) tak menampilkan raut jijik. Dia duduk di atas tumpukan sampah truk hijau. Truknya bertuliskan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar melaju pelan di antara hiruk-pikuk Denpasar. Sesekali truk berhenti untuk menaikkan tumpukan sampah di beberapa sudut.
Dia masih trengginas naik-turun truk sampah. Tubuhnya pejal dengan baju kotor berwarna hijau kusam karena sengatan matahari. Itu seragam dinasnya. Sementara truk yang kotor, bau, dan menyesakkan napas adalah kendaraan dinasnya. Rutinitas ini dilakukan karena menyangkut isi perut keluarga. ”Masyarakat nyaris enggak pernah mikir bagaimana sesungguhnya tugas kami,” kata Nyoman yang enggan menyebutkan nama lengkapnya.
Masyarakat hanya tahu membungkus, membuang, lalu menunggu petugas sampah datang mengangkut. Beres. Persoalan kebersihan kota, hanya dianggap tanggung jawab petugas DKP.
Setelah sampah berada di luar halaman rumah mereka, persoalan dianggap selesai.
”Toh, kami sudah membayar dan langganan tukang sampah,” alasan Nengah Artawa, warga Jalan Gunung Batur, Denpasar.
Nyoman Mambal Ngurah Hena, warga Jalan Waturenggong, juga melakukan hal serupa. ”Saya bayar Rp 15.000 setiap bulan,” jelasnya.
Tukang sampah menyambangi rumah mereka saban dua hari. Tong sampah rumah Mambal dipenuhi berbagai jenis sampah, dari tisu, pembungkus makanan, daun, sampai bekas minuman. Sampah organik dan nonorganik bercampur dalam satu wadah.
Bagi Nyoman, kebersihan kota bukan hanya tanggung jawab dia dan kawan-kawan. ”Masyarakat juga harus dilibatkan mengolah sampah secara mandiri,” katanya.
Pengelolaan seperti itu akan mengurangi beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Suwung yang sudah kelebihan kapasitas. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Suwung dikirimi puluhan truk sampah setiap harinya. Gunungan sampah bahkan merambah kawasan mangrove.
Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali 2009 menyatakan, sampah perkotaan di Bali mencapai 5.093 meter kubik per hari. Volume sampah rumah tangga bahkan lebih mencengangkan, 10.182,1 meter kubik per hari, pada tahun 2008. Kota Denpasar menyumbang angka tertinggi.
Sistem pengelolaan sampah di Bali masih konvensional, yakni diangkut dan ditimbun dengan persentase masing-masing 39,08 persen dan 60,92 persen. Di Denpasar, 100 persen sampah diangkut ke TPA Suwung yang luasnya hanya 22 hektar.
Sederhana
Bagi aktivis lingkungan hidup, Hira Jhamtani, sejatinya persoalan persampahan itu sederhana saja. ”Cara pandang terhadap sampah yang harus kita ubah,” kata Hira dalam sebuah diskusi pada pertengahan Agustus lalu di Denpasar.
Dia menilai, masyarakat selalu memandang sampah sebagai barang sisa yang harus disingkirkan. Padahal, menurut Hira, sampah harus dilihat sebagai obyek yang bisa diolah sehingga berfungsi kembali.
Dia melakukan itu di rumahnya. Sampah rumah tangga yang dihasilkan diolah agar kembali memiliki nilai fungsional. Sampah cair, misalnya, dia ubah dengan mesin menjadi biogas.
Pemerintah Provinsi Bali pun sedang menggodok peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan sampah. Perda ini demi mewujudkan Bali Bebas Sampah Plastik 2013, serta Bali Clean and Green.
Hira menilai, untuk mengatasi persoalan sampah tak harus dengan pendekatan legalistik. Alasannya, membuat peraturan penanggulangan persampahan tidak menjamin masyarakat patuh.
”Kita harus membuat sistem yang benar sebelum membuat kebijakan,” katanya.
Manajemen persampahan harus diubah dari berbasis TPA menjadi berbasis rumah tangga. Dia menjelaskan, rumah tangga wajib memiliki pengolahan sampah secara mandiri. Tanpa itu, sampah tetap menjadi masalah klasik yang tak tersolusikan.
”Ini membutuhkan dukungan politik dari pemerintah,” katanya. Misalnya, sebelum pemerintah memberikan izin mendirikan bangunan (IMB), pemilik tanah wajib mempunyai sistem pengolahan limbah mandiri.
”Kita tak mungkin menyerahkan pengolahan sampah hanya di TPA,” katanya menambahkan.
Pemilahan sampah menjadi sampah organik dan nonorganik akan percuma jika akhirnya ditumpuk di TPA. Pulau Hijau seperti cita-cita Gubernur Bali Made Mangku Pastika hanya ilusi. Bagi Nyoman, keberhasilan Bali sebagai Pulau Hijau adalah tolok ukur keberhasilan kerjanya.
Namun, dia khawatir perilaku masyarakat tidak mendukung. ”Sampah sejatinya menunjukkan tabiat manusia,” kata Nyoman lirih. Bagi dia, sampah adalah soal kehidupan, apakah manusia beradab atau tidak.
I Wayan Agus Purnomo Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Denpasar
Post Date : 21 September 2010
|