Sampah Hilang, Pujian Datang

Sumber:Tabloid Nova - 17 Februari 2009
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Dua kawasan ini patut menjadi contoh kepedulian lingkungan. Mulai dari penghijauan, pengolahan limbah sungai, hingga bertanam padi organik di halaman rumah.

Suasana di bantaran Kali Gunungsari, Surabaya, siang itu sejuk dan asri. Tanaman tumbuh subur berbaris rapi di jalan sepanjang satu kilometer. Ada pohon mangga, nangka, pisang, jambu, sampai tanaman obat, juga tanaman hias. Bibir sungai dengan teras rumah warga dibatasi paving block selebar tiga meter. Tak ditemui secuil pun sampah di situ.

Semangat warga dalam menata lingkungan ini sepatutnya dijadikan contoh. Kampung padat penduduk yang dihuni 450 KK atau sekitar 2.000 jiwa tersebut, awalnya sebuah pemukiman kumuh, gersang, dan serba semerawut. Tapi dengan semangat perubahan, warga yang berdiam di situ sejak puluhan tahun silam sama-sama menata kampungnya menjadi sehat."Dulu, kampung ini sangat kumuh. Semua sampah dibuang ke kali. Tapi itu cerita lama. Untuk bisa menjadi seperti ini memerlukan tekad dan semangat yang luar biasa," kata Waras Riyanto (53), tokoh masyarakat sekaligus Ketua RW setempat.

Kata Waras, semangat perubahan itu tercetus tahun 2002. Ceritanya, kala itu pemerintah akan menggusur perumahan yang berada di sepanjang bantaran kali. Selain kumuh, warga di situ dianggap punya andil besar terhadap pencemaran kali Surabaya. Nah, tak mau kampung mereka digusur, dimulailah gerakan peduli lingkungan. Rumah yang tadinya membelakangi kali, diubah posisinya. Sungai yang bau dan penampakannya sudah tak karuan, kembali ditata. Tepiannya yang semula longsor dan penuh sampah, dipasangi tanggul dari anyaman bambu dan ditanami ribuan pohon. "Sampai akhirnya, kami tak jadi digusur," sambung Waras yang didampingi Wawan Some dari LSM Urban Poor Linkage (Uplink), lembaga yang membantu warga bebenah lingkungan.

Dari Kumuh Jadi Sehat

Setelah mendapat berbagai pendampingan, warga mulai mengolah sampah.Yang basah diolah jadi kompos menggunakan teknik keranjang Takakura secara perorangan atau komunal, sedang sampah yang kering dijual kemudian uangnya untuk pemasukan kas kampung.

Untuk limbah cair rumah tangga, warga bekerjasama dengan Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya membuat pengolah limbah sendiri. Misalnya, limbah air dari kamar mandi yang berasal dari setiap rumah, ditampung dalam satu bak penampungan. Lalu, setelah melalui proses penjernihan, air yang keluar dari bak tersebut sudah bersih. Bahkan bisa digunakan untuk keperluan mencuci kembali. "Kalaupun tidak mau dipakai lagi, ketika dibuang ke sungai, air tersebut dalam keadaan bersih dan tidak mencemari sungai," papar Waras.

Sampah hilang, pujian pun datang. Tak hanya dari kalangan pemerintah kota tetapi dari berbagai negara. Beberapa LSM yang peduli pada penataan lingkungan dari Jerman, Perancis, Philipina, Bangkok, Korea, dan Jepang pernah datang. Teve dan radio Jerman pernah membuat liputan khusus tentang warga bantaran kali ini. Bahkan sudah 14 warga yang diajak belajar tentang penataan lingkungan dan perumahan ke Thailand. "Mereka sangat kagum dengan semangat warga yang berhasil mengubah pola hidup dari perkampungan yang semula kumuh menjadi kawasan yang sehat," jelas Wawan.

Panen Padi di Halaman

Nah, kawasan yang satu ini juga perlu diteladani. Tepatnya di Desa Dukuh Dempok, Jember (Jatim). Meski jumlah tanah persawahan di sana dari tahun ke tahun semakin berkurang, bukan penghalang bagi warganya untuk tetap bisa bertanam padi. Tak perlu sawah, cukup mengunakan polybag di halaman rumah.

Edy Suryanto (38) adalah ketua kelompok tani yang sukses memelopori penanaman padi organik di rumah, dibantu dua rekannya, Barid Isom dan Mamang. "Selain tak perlu lahan sawah, juga tak perlu pupuk karena padinya organik," papar Edy yang mengaku melakoni "temuannya" ini karena kebetulan.

Suatu ketika, saat rapat di lantai atas gedung Bank Indonesia Jember, Edy merasakan hawa yang sangat panas karena persis di depan ruang rapat tersebut terhampar lahan yang tertutup semen. "Saya berpikir, kalau ditanami sesuatu, pasti di dalam ruangan akan terkena imbas rasa sejuk. Saat itulah muncul ide bertanam padi organik dalam polybag."

Awalnya, ide Edy dipandang sebelah mata. Tapi Edy tetap yakin. Setelah mendapat izin dari kepala kantor, keesokan harinya, ia mulai melakukan uji coba penanaman. Media yang dipakai berupa pupuk kandang yang difermentasi atau biasa disebut pupuk bokasi dicampur dengan tanah dengan komposisi satu banding satu. Setelah dicampur rata baru kemudian dimasukkan dalam polybag ukuran 30 cm. Agar hasil bagus, biji beras ditanam dalam persemaian terlebih dulu sekitar empat hari. Setelah keluar daun sepanjang 3 senti, baru dipindah dalam polybag.

Hasilnya, padi yang berjumlah ratusan kantong tersebut tumbuh dengan subur. Suasana ruang yang semula panas berubah menjadi sejuk dan asri!

Setelah berhasil di gedung BI, Edy melanjutkan eksperimen di halaman belakang rumahnya. Di lahan seluas 4 x10 meter itu, ia membuat sekitar 650 buah polybag padi. "Ekperimen kedua saya berhasil. Dari satu biji padi, setelah membesar, berkembang sampai sekitar 80 tunas baru. Secara keseluruhan, saya panen 750 Kg gabah kering atau sekitar 325 Kg beras organik," terang Edy yang selain petani juga mengajar di SMK Teknik Balung. Alhasil, sekarang hampir satu desa menanam padi di halaman rumahnya. Sampai-sampai mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri.

Selain untuk memanfaatkan lahan di rumah, perawatan padi dalam polybag sangat sederhana,"Bisa dilakukan oleh ibu-ibu di rumah." Usia panen padi polybag pun sama dengan padi yang ditanam di sawah, yakni setiap sekitar 110 hari. Setelah dipanen, sisa media yang ada dalam polybag masih dapat digunakan, tapi sebaiknya dijemur terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Yang unik, padi organik dalam polybag ini justru semakin bagus ketika mendapat terpaan sinar matahari yang sangat tinggi. "Jadi, meski terjadi global warming seperti sekarang ini, padi organik dalam polybag tidak akan terpengaruh, bahkan justru semakin bagus," papar Edy yang di depan rumahnya juga dipenuhi berbagai tanaman sayur organik.

Kendati eksprimen padi organik cukup sukses namun Edy tak meningglkan tanam padi dengan pola di sawah. Beberapa waktu ia sukses mengolah sawah dan menghasilkan padi cukup spektakuler. Dalam satu hektar sawah, Edy mampu menghasilkan 13,5 ton gabah. Karena keberhasilan itu, ia diundang Presiden SBY untuk makan siang bersama di istana negara.

Semoga semangat "hijau" warga bantaran Kali Gunungsari dan Desa Dukuh Dempok ini bisa menular ke seluruh pelosok Indonesia! Gandhi Wasono



Post Date : 17 Februari 2009