|
DENPASAR -- Semakin banyaknya pengiriman sampah elektronik dari negara maju ke negara berkembang mulai mengkhawatirkan. Menurut Direktur Balifokus Yuyun Yunia Ismawati, saat ini jumlah perpindahan sampah elektronik di dunia semakin memprihatinkan. "Rata-rata sasaran pembuangannya adalah negara berkembang," ujarnya kemarin. Sampah elektronik ini menjadi isu utama yang dibahas dalam Konferensi Antarbangsa Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) atau Konvensi Basel Ke-9 (Conference of the Parties/COP), yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, sejak Senin lalu. Menurut Yuyun, negara berkembang telah sepakat menolak jadi tempat pembuangan sampah elektronik beracun. Langkah ini diambil untuk melindungi warga negara dari bahan beracun dan berbahaya. "Namun, kesepakatan negara berkembang ini ditolak oleh negara maju, salah satunya Jepang," katanya. Yuyun mengungkapkan, untuk menyiasati itu, pemerintah Jepang menawarkan program daur ulang. Dalam tawaran ini sampah berbahaya bisa dibuang ke negara berkembang dengan didaur ulang menjadi barang kebutuhan lainnya. Hanya, tawaran itu tidak disertai dengan komposisi pengurangan zat beracun dan berbahaya yang terkandung di dalamnya. Salah satu contoh sampah elektronik yang tak lagi terkontrol peredarannya adalah limbah handphone. Menurut Yuyun, di Indonesia saja hampir semua orang memilikinya, bahkan ada yang lebih dari satu dengan masa pemakaian terbilang cukup singkat. Chairman Mobile Phone Partnership Initiative Marco Buletti mengatakan kemampuan handphone rata-rata dirancang untuk digunakan selama delapan tahun. Namun, nyatanya, banyak konsumen yang memakainya dua tahun saja. "Akibatnya, sampah elektronik berupa HP kian menggunung di belahan dunia mana pun," katanya. Sejak dikenalkan pertama kali pada 1970, pada 2004 produk handphone mencapai 1,76 miliar unit. Jumlahnya meningkat menjadi dua kali lipatnya atau menjadi 3 miliar pada 2008. Menurut perhitungan Mobile Phone Partnership Initiative, barang elektronik ini menciptakan sebanyak 40-50 miliar ton sampah setiap tahunnya. Departemen Lingkungan Hidup beberapa waktu lalu menyatakan belum bisa mendapatkan data jumlah sampah elektronik (e-waste) yang mengandung bahan beracun berbahaya, baik domestik maupun kiriman dari luar negeri. Menurut pejabat departemen ini, kesulitan itu karena faktor perdagangan ilegal dan sebaran pembuangan sampah elektronik yang beragam di seluruh wilayah Indonesia. ANANG ZAKARIA Post Date : 25 Juni 2008 |