Sampah DKI Jadi Listrik

Sumber:Koran Tempo - 27 Desember 2005
Kategori:Sampah Jakarta
Jakarta --- pernah masuk ke sebuah lokasi pembuangan sampah tapi tak merasa risi dengan baunya ? Poempida Hidayatulloh, Presiden PT Indo Enviro Waste Management, pernah, sekitar tiga tahun lalu, di Austria. Saya masuk ke situ tapi tidak bau. Relatively masih bisa tertahanlah baunya dengan hidung telanjang, katanya.

Dari sanalah awal Poempida dan perusahaannya kepincut dengan teknologi biometanisasi, mengolah sampah organik dalam ruang tertutup dan dengan pertolongan bakteri anaerob, menjadikannya sumber enrgi listrik alternative. Dua tahun lebih menantu Menteri Perindustrian Fahmi Idris itu berusaha meyakinkan teknologi itu. Berbagai lobi dan jaringan pun dirangkainya untuk bisa mempresentasikan langsung teknologi itu di hadapan para petinggi di pemerintah Ibu Kota dan dinas terkait.

Kisruh di tempat pengolahan sampah terpadu Bojong juga mau tak mau diakuinya membantu proposal dilirik. Tiba-tiba ada kasus itu sehingga kebutuhan ini menjadi penting buat mereka, tuturnya. Hingga akhirnya, pada Oktober, perusahaannya bersama tiga perusahaan lainnya menandatangani nota kesepahaman dengan pemerintah DKI Jakarta.

Poempida mengklaim bahwa teknologi pengolahan sampah yang diusungnya lebih baik dibanding yang lain. Ada yang menghasilkan kompos, ada yang menghasilkan listrik, tapi hanya perusahaannya yang menghasilkan keduanya. Kami juga tidak menggunakan insenerator. Jadi tak ada proses pembakaran. Teknologinya sangat ramah lingkungan, katanya kepada wartawan yang diundang ke kantornya di kawasan Kuningan, sepekan lalu, untuk mengumumkan nota kesepahaman itu.

Pakar teknologi Lingkungan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, H.B. Hengki Sutanto, setuju teknologi biometanisasi ramah lingkungan. Proses pembusukan sampah (organik) yang terjadi sama dengan di tempat-tempat pembuangan akhir sampah di lapangan terbuka. Pada kedalaman satu meter ke bawah dari permukaan sebuah TPA, reaksi bakteri yang sam juga menghasilkan gas metana (CH4), ujarnya ketika dihubungi terpisah.

Hengky lalu mengingatkan, peristiwa gunungan sampah di TPA Leuwigajah, Jawa Barat, yang longsor akibat ledakan gas metana. Dalam proses biomentasi, produk gas itu dikendalikan. Begitu pula dengan residu padatannya, yang berupa kompos, ungkapnya.

Hanya, Hengky mengingatkan, sebuah pabrik seperti yang ingin dimulai desain pembangunannya paling cepat pertengahan tahun depan oleh Poempida itu harus juga memperhitungkan aspek kelestarian produksi. Harus diperhitungkan lama waktu tinggal gas dalam tangki-tangki penyimpanannya sebelum blow down (terkuras habis), katanya. Karena itu, menurut Hengky, sebuah TPA tetap diperlukan sebagai antisipasi apabila sewaktu-waktu ada kemacetan proses gara-gara tangki masih penuh.

Untuk kekhawatiran itu, Poempida berharap pada nota kesepahaman penjualan listrik yang telah ditandatanganinya dengan PT PLN awal Desember lalu. Belum ada harga yang disepakati memang, tapi kami menawarkan harga yang sepantasnya, US$ 5,5 sen per kWh (harga jual PT PLN US$ 7sen), paparnya.

Saat ini lahan seluas enam hektare di jalan Rawabebek sudah oke, teknologi pembangkit gas jadi listrik senilai Rp 600 miliar pun siap ditransfer, lalu apakah Poempida tidak khawatir reaksi penolakan masyarakat seperti kasus TPST Bojong? Tidak ada bau keluar, tak ada limbah keluar. Jadi kenapa warga harus protes ? tuturnya.

Pabriknya juga akan menyerap tenaga kerja. Jadi tidak mengganggu mata pencaharian pemulung yang sudah ada. Pekerjaannya hanya akan dialihkan sebagai pemilah. Di atas lahan yang dialokasikan juga sebelumnya sudah ada lokasi pembuangan tinja serta berdampingan dengan lokasi pembuangan limbah bahan beracun dan berbahaya.

Jadi, kalau B3 saja diterima, kenapa ini yang menghasilkan listrik dan menyerap tenaga kerja tidak ? ujarnya lagi. Poempida mengingatkan bahwa yang akan dibangunnya bukan TPA, tapi pembangkit listrik tenaga sampah. Agak beda, katanya. WURAGIL

Post Date : 27 Desember 2005