|
JAKARTA (Media): Pengolahan sampah masyarakat di Ibu Kota akan diserahkan kepada pihak kelurahan se-DKI Jakarta. Dengan kebijakan itu, sampah yang akan diangkut dari depo kelurahan ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, bisa berkurang 20%. "Selama ini pengolahan sampah dari hulu sampai ke TPA ditangani Suku Dinas Kebersihan Wilayah dan Dinas Kebersihan DKI. Tapi mulai tahun depan diserahkan kepada kelurahan sebagai hulu sumber sampah," ujar Kepala Dinas Kebersihan DKI Rama Budi di Balai Kota DKI usai melapor kepada Gubernur Sutiyoso, kemarin. Menurut Rama, strategi penanganan sampah warga Ibu Kota yang melibatkan pihak kelurahan untuk mengurangi beban TPA Bantar Gebang, yang idealnya menampung tiga ton per hari, tapi kini antara empat sampai lima ton. ''TPA Bantar Gebang sekarang sama dengan bus kota, berkapasitas 40 tempat duduk, tapi dipaksa memuat 80 orang,'' jelas Rama Budi. Sebenarnya, Pemerintah Provinsi DKI berharap banyak pada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Bogor. Sayangnya, meski diharapkan bisa mengurangi daya tampung TPA Bantar Gebang, ternyata sampai sekarang pengoperasiannya masih menimbulkan pro dan kontra. Protes dari masyarakat sekitar, didukung kalangan mahasiswa, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) memang terus menguat. Menurut Rama Budi, di Jakarta terdapat 265 kelurahan, tidak termasuk Kabupaten Administratif Kapulauan Seribu. Dengan begitu, setidaknya dibutuhkan 265 depo sampah di atas tanah seluas sekitar 500 meter persegi per kelurahan. Sejauh ini, belum semua kelurahan memiliki depo sampah. Memang ada yang punya depo, tapi kata Rama Budi, tidak layak pakai, karena kondisinya tidak memadai. Misalnya, karena posisinya kecil memanjang dan pendek serta serong. Oleh karena itu, perlu mencari lahan baru untuk membangun depo sampah di tiap-tiap kelurahan. Memadatkan sampah Beberapa kota metropolitan di dunia, menurut Rama Budi, berhasil menggunakan sistem compacting dengan cara memadatkan sampah di depo hingga beratnya berkurang sampai 20%. Misalnya di Han Cau (RRC), Pakistan, dan beberapa kota lainnya yang pernah ditinjau tim dari Pemprov DKI. "Setelah berkurang 20%, saat diangkut ke TPA Bantar Gebang beratnya tinggal 80%, karena limbah cair sudah dibuang." Ketika ditanya tentang kapan pemberlakuan sistem compacting di tiap depo sampah kelurahan itu, menurut Rama Budi, semuanya masih menunggu kucuran dana. Sistem anggarannya baru disusun akhir 2005 untuk diusulkan pada tahun anggaran (TA) 2006. ''Kemungkinan tahun 2006 program ini bisa dimulai.'' Sekarang Dinas Kebersihan DKI tengah melakukan inventarisasi kelurahan di Jakarta yang telah memiliki depo. Namun semuanya perlu diteliti standarnya, karena banyak depo tidak sesuai program compacting yakni lahannya di atas sekitar 500 meter persegi. Mengenai teknologi yang digunakan, menurut Rama Budi, tidak hanya sistem compacting, bisa juga teknologi lain, namun tidak dijelaskan secara rinci. Yang pasti tidak mungkin menggunakan teknologi incenerator (pembakaran), karena suhu terlalu panas dan menyerap aliran listrik terlalu tinggi. ''Kita kan harus hemat energi.'' Selain itu, untuk mengurangi beban TPA Bantar Gebang, pihak Dinas Kebersihan segera mengoperasikan tempat pengolahan sampah milik Pemprov DKI di Duri Kosambi, Jakarta Barat. Sayangnya, Rama Budi belum bersedia menjelaskan soal teknologi pengolahan sampah di Duri Kosambi itu. Namun rencana sebelumnya di atas lahan aset pemprov seluas 5.000 meter persegi, yang kini menjadi tempat pengolahan limbah itu, dipakai teknologi incenerator dengan aliran listrik suhu tinggi. "Nantilah, bulan depan kami beri tahu soal teknologinya. Sabar saja.'' (Ssr/J-1) Post Date : 14 Juli 2005 |