|
Pemanasan global tidak hanya dirasakan orang-orang dewasa. Anak-anak pun merasakannya. Kesadaran terhadap bahaya pengurangan lapisan ozon yang menyebabkan perubahan iklim dunia, tidak hanya menjadi perhatian tokoh-tokoh dunia. Tema inilah yang dibahas oleh anak-anak yang tergabung dalam Children Conference on Climate Change (C4). Anak-anak yang berasal dari berbagai negara itu membahas keprihatinan dunia di Taman Flora Bratang atau Techno Park, Surabaya, sejak Senin (26/11). Perkemahan yang berlangsung sampai 30 November itu, mendahului pertemuan tingkat dunia United Nations Climate Change Conference di Bali, 3-14 Desember. Anak-anak dari Rusia, Australia, Malaysia, Prancis, Haiti, Kamerun, bergabung dengan sekitar 220 anak dari berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya tiga anak dari Sumatera Barat, delapan anak dari Medan, delapan anak dari Bali, empat anak dari Yogyakarta, 13 anak dari Papua. Surabaya sebagai tuan rumah diwakili lebih dari 100 anak. Mereka tidak melakukan pertemuan di hotel mewah. Anak-anak itu memilih melakukan aktivitas di alam terbuka. Tenda-tenda kecil menjadi rumah sementara mereka. Agenda utama kemah bersama itu, memberikan bekal pengetahuan tentang pemanasan global, upaya untuk menyelamatkan iklim dunia dari perubahan iklim, pengelolaan sampah, pengelolaan energi, dan daya hidup. Para peserta diagendakan membuat petisi berupa puisi yang dibacakan dalam forum United Nations Climate Change Conference di Bali. Acara Care To Change yang diselenggarakan Tunas Hijau itu mengajak anak berani mengemukakan pendapat dan memiliki kemampuan mengurai masalah. Setiap kelompok anak bercerita tentang kondisi tempat tinggalnya. Selain mengikuti workshop, peserta perkemahan itu juga melakukan aksi nyata. Misalnya saja menanam pohon. Hutan kota merupakan solusi jangka pendek untuk menekan polusi udara akibat polutan industri dan kendaraan bermotor. Stop Kantong Plastik Hari kedua kampanye pemanasan global C4, pada Selasa (27/11), peserta dibagi dalam lima kelompok. Di antaranya belajar mengolah sampah menjadi pupuk kompos di Usaha Produksi Daur Kompos (UPDK) Barayang, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Benowo, produksi pupuk kompos di SMA Semen Gresik di Gresik, pengolahan sampah skala permukiman kampung di Jambangan. Miillie Burggraf, asal Australia, mengaku sangat senang bisa bergabung dengan sesama rekannya dari negara lainnya serta daerah-daerah lain di Indonesia. "Di negara kami, sudah terbiasa anak-anak aktif mengkampanyekan lingkungan, misalnya stop penggunaan kantong plastik, karena menyumbang polutan sekaligus mengakibatkan panas bumi meningkat," kata Miillie. Miillie menyebut dampak pemanasan global itu dirasakan di negaranya, Australia. "Musim panas berlangsung lebih lama, suhu udara bisa mencapai 33 derajat celsius," katanya. Lachlan Ward, dari Australia, mengatakan program pengolahan sampah hendaknya tidak terbatas pada sampah, tetapi juga mendaur ulang semua sampah organik maupun plastik. "Sampah ini menjadi bencana besar jika tidak segera ditangani dengan mekanisme daur ulang," katanya. Jean Rumere, siswa kelas 3 SMP Yayasan Pendidikan Jaya Wijaya Kuala Kencana, Papua, juga mengaku merasakan dampak pemanasan global. Bahkan ketika tiba di Surabaya, Jean merasakan cuaca di Surabaya cukup panas. "Saat masih sekolah dasar, saya harus membutuhkan dua sampai tiga selimut untuk menutup tubuh agar tidak kedinginan. Tapi sekarang cuma dengan kaus lengan panjang saja," katanya, memberi contoh mengenai dampak pemanasan global yang di- rasakan di tanah kelahirannya. Eva Naomi asal Tembagapura, menambahkan, memang masih cukup banyak pepohonan di sekitar tempat tinggalnya dan di Papua. Tetapi, sengatan panas cukup dirasakan begitu keluar rumah. "Kami khawatir Papua akan bertambah panas, kalau hutan-hutan terus ditebang. Soal sampah, di tempat kami lebih banyak daun-daun daripada sampah plastik, beda di kota besar yang le- bih banyak sampah plastiknya," katanya. Lain lagi kisah yang disampaikan Louis Porfinos asal Medan. "Surabaya masih hijau dibandingkan dengan Medan. Di tempat kami jarang ada pepohonan yang rindang. Teman-temanku akan kuajak tanam pohon di sekitar sekolah, rumah. Makin lama makin banyak, biar tidak terlalu panas," katanya.[Edi Soetedjo] Post Date : 04 Desember 2007 |