|
JAKARTA, (PR).-Pemprov DKI Jakarta harus memegang komitmen untuk memperbaiki teknis pengelolaan sampah, dengan melibatkan Pemprov Jabar dan Pemkot Bekasi. Hal itu untuk menghindari risiko akibat penambahan volume sampah yang dikirim dari Jakarta pascabanjir. Demikian pendapat dari anggota Komisi D DPRD Jabar, Ani Rukmini dan Sekretaris Komisi A DPRD Jabar, Syaiful Huda yang dihubungi "PR" di Bandung, Minggu (11/2), berkaitan dengan penyiapan 5 hektare lahan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang Bekasi. Berkaitan dengan telah surutnya banjir Jakarta, PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB) selaku pengelola TPA mengaku telah menyiapkan lahan seluas 5 hektare untuk menimbun sampah pascabanjir Jakarta. Saat ini jumlah kiriman sampah bertambah sebanyak 2.000 ton per hari. "Sekarang kami menerima kiriman sampah dari Jakarta sebanyak 7.000 ton per hari. Padahal sebelumnya, hanya menerima rata-rata 5.500-6.000 ton per hari. "Peningkatan jumlah kiriman itu harus diantisipasi dengan lokasi penimbunan sampah baru," ujar juru bicara PBB Sriyanto saat dihubungi "PR" di Bekasi, semalam. Menurut dia, selama ini, sampah dari Jakarta ditempatkan di tiga titik, yakni Zona I, Zona II, dan Zona Kepala Burung. Zona III B3 yang disiapkan sebenarnya bukan lahan baru, tapi lahan lama yang pernah dipakai sebagai tempat penimbunan sampah. "Setelah tak ada lonjakan sampah, pembuangan ke Zona III B3 akan dihentikan," kata Sriyanto. Menurut pemantauan, sejak Sabtu (10/2) lalu, beberapa truk pengangkut sampah mulai membuang sampahnya ke zona baru itu. Di tempat terpisah, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, R. Tasmaya mengatakan, untuk membersihkan Jakarta, petugas yang diturunkan dari Dinas Kebersihan sebanyak 1.946 orang dan 736 unit truk pengangkut sampah. Sampah yang dihasilkan pascabanjir itu mencapai 7.000 ton per hari, padahal pada hari biasa, sampah Jakarta hanya 6.000 ton. Melonjaknya jumlah sampah itu tidak lepas dari surutnya banjir di Jakarta. Karenanya, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memerintahkan dinas-dinas terkait untuk terlibat langsung dalam rehabilitasi ibu kota tersebut, terutama membersihkan kawasan yang terkena banjir. Proses rehabilitasi tersebut memerlukan waktu satu minggu. Dilema Anggota Komisi D DPRD Ani Rukmini mengatakan, persoalan menambah lahan di Bantargebang menimbulkan dilema bagi Provinsi Jawa Barat. "Memang dilematis, di satu sisi melihat kapasitas DKI Jakarta sebagai ibu kota negara harus kita support. Di sisi lain, pengelolaan sampah selama ini masih bermasalah, artinya kinerja tidak optimal," katanya. Ani menyatakan, DKI Jakarta harusnya memperbaiki sistem pengelolaan sampah sebelum meminta tambahan lahan. Sistem pengelolaan sampah di Bantargebang masih konvensional dengan sistem open dumping tanpa melakukan pemadatan sampah dengan tanah. "Jangan dulu minta tambah area dan sebagainya, tapi kapasitas yang ada dimaksimalkan dengan mengambil langkah teknis yang diperlukan untuk menampung sampah sisa banjir," ujarnya. Jika mau menolong ibu kota, Ani mengatakan, pengangkutan sampah ke Bantargebang memang perlu dilakukan. Namun, dengan komitmen dan dan kesepakatan bersama yang melibatkan Provinsi Jawa Barat dan Pemkot Bekasi. "Dalam kondisi musibah banjir, sangat tidak layak kalau kita bersikukuh tidak membantu. Namun, DKI Jakarta harus memegang komitmen dengan memperbaiki teknis pengelolaan sampah," ucapnya. Senada dengan Ani, Sekretaris Komisi A DPRD Jawa Barat, Syaiful Huda, menilai, kondisi Jakarta yang dipenuhi sampah pascabanjir tergolong kondisi darurat sampah. Kalau proses pengangkutan sampah dipercepat, hal itu bisa dilakukan. "Namun, tidak untuk ke penambahan wilayah. Artinya, harus dibuat kesepahaman bersama untuk memprioritaskan pengangkutan sampah di lokasi yang sudah ada. Kerangka prosedural yang ditetapkan harus ditempuh, supaya menghindari risiko yang ditanggung kemudian. Apalagi, pengelolaan sampah selama ini tidak baik dan sarat masalah," ujarnya. Jika syarat terpenuhi, Syaiful menambahkan, prioritas penanganan dapat dilakukan bersama. "Tapi, tidak dengan penambahan wilayah. Sistem manajemen sampah perlu diperbarui, jangan sampai karena menganggap emergency, pembuatan dilakukan tanpa perencanaan yang jelas," ujarnya. "Untuk penanganannya, perlu dibuat policy yang melibatkan tidak hanya eksekutif antarwilayah, tapi juga legislatif dan masyarakat setempat," katanya. (A-158/A-153) Post Date : 12 Februari 2007 |