Sampah dan Iman

Sumber:Suara Pembaruan - 05 Juni 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Kerusakan lingkungan hidup oleh ulah manusia semakin menjadi-jadi. Eksploitasi sumber daya alam tidak henti-hentinya dan sumber daya alam pun makin menipis, habis terkuras. Namun, yang lebih parah adalah pencemaran terhadap lingkungan. Umat manusia di seluruh dunia semakin tidak berdaya menangani bahan-bahan pencemar yang dihasilkan kegiatannya. Sampah dan limbah yang berserakan di mana-mana semakin tidak bisa tertangani.

Ironis, bangsa Indonesia yang selalu bangga dengan sumber daya alamnya yang melimpah, ternyata menjadi "importir" terbesar sampah sebagai bahan baku industri. Kasus yang paling terakhir adalah sampah kondom bekas yang "diekspor" Jerman dan "diimpor" oleh perusahaan tertentu di Indonesia. Lalu ke mana karet kita?

Tulisan ini akan fokus pada hubungan antara sampah dan iman. Adakah peran iman dalam mengatasi permasalahan sampah sebagai produk yang mencemari lingkungan hidup kita?

Limbah dan sampah adalah bahan-bahan yang mencemari lingkungan. Sampah "diproduksi" dari kegiatan manusia. Tidak kebetulan bahwa kata cemar dan kata sampah cukup akrab dengan slogan-slogan iman dalam arti yang negatif. Kata pencemaran berasal dari kata dasar cemar, yang berarti kotor atau ternoda. Istilah itu menunjuk kepada hakikat manusia sebagai orang berdosa. Manusia berdosa adalah manusia yang tercemar dan ternoda. Hatinya dipenuhi oleh kebusukan yang menyebarkan bau busuk yang terpancar dari perbuatan-perbuatannya. Pencemaran terhadap lingkungan merupakan wajah atau wujud dari kecemaran manusia, sehingga bersifat destruktif terhadap lingkungannya.

Produk Disengaja

Orang sering menyebut sampah sebagai produk sampingan manusia. Sampah pada masa kini, khusus bagi mereka yang hidup di kota-kota besar, tidak bisa lagi dikategorikan sebagai produk sampingan kegiatan manusia. Sampah telah menjadi produk yang disengaja melalui kegiatan setiap hari. Produk sampah disebut disengaja sebab memang manusia sengaja menghasilkan produk sampah, misalnya, saat belanja atau melakukan pekerjaan apapun di rumah, di kantor atau di sekolah.

Contoh, ketika berbelanja sudah dengan penuh kesadaran kita memakai kemasan (plastik dan kertas) yang nanti akan dibuang menjadi sampah. Demikian juga kegiatan di kantor dan sekolah. Di kantor semua kegiatan kita ditopang oleh kertas, kardus, dan berbagai produk yang sebagian menjadi sampah.

Demikian juga di sekolah, kegiatan siswa di kantin, di kelas dan di halaman, dengan sendirinya juga memproduksi sampah. Kegiatan di manapun dengan penuh kesadaran kita memproduksi sampah. Mungkin berbeda dalam volume, tetapi jelas, semua kegiatan manusia memproduksi sampah.

Kalau sampah diakui sebagai produk yang disengaja, maka kita akan terdorong untuk mengelola dan menata produk tersebut, sehingga tidak menjadi sesuatu yang merusak lingkungan.

Produk sampah yang ditata dan dikelola dengan baik justru akan menjadi produk yang berguna dan baik bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Sebagai contoh, produk sampah organik yang dikelola menjadi kompos akan menjadi pupuk tanaman yang bisa memberikan nilai tambah ekonomi rumah tangga.

Demikian juga dapat dilakukan untuk sampah plastik, kertas, serta kaleng. Kalau ditata dan dikelola dengan baik, semuanya dapat menjadi produk yang berharga dan bernilai ekonomi, sehingga sampah tidak lagi menjadi sesuatu yang dipandang negatif.

Sudah lama disadari bahwa sampah mengandung berbagai bahan berbahaya, kalau tidak dikelola. Sampah yang bercampur aduk akan mengalami proses pembusukan, sehingga berubah menjadi bahan beracun dan berbahaya (B3). Singkatnya, sampah merusak aspek fisik dan biologis lingkungan. Oleh karena itu, satu-satunya jalan menghindari akibat negatif sampah adalah mengelola sampah.

Pengelolaan sampah bisa dimulai dengan pemilahan kemudian dilanjutkan dengan pemrosesan menjadi produk bernilai ekonomi. Pengelolaan sampah ini tidak harus dikerjakan oleh perusahaan besar. Setiap produsen sampah pada hakikatnya bisa menjadi pengelola sampah menjadi produk bermakna. Pengelolaan itu sekaligus berfungsi untuk mencegah menumpuknya sa-mpah dan meminimalkan produk sampah yang akhirnya dibuang ke tempat pembuangan sampah.

Mengelola sampah secara pribadi atau institusi semakin mendesak kalau kita melihat gejala pertambahan volume sampah dari tahun ke tahun. Juga kalau kita menyadari betapa berbahayanya sampah bagi manusia.

Menurut MT Zen, akibat sampah, rakyat Indonesia menjadi manusia paling rapuh di dunia. Tentu itu datang dari sampah yang tidak ditata dan dikelola. Hal itu menunjukkan bahwa sampah berdampak pada tanggung jawab moral manusia. Terhadap lingkungan meracuni makhluk hidup, dan terhadap sesama manusia menimbulkan penyakit dan ketidakadilan, misalnya, dalam hal biaya kesehatan.

Perspektif Agama

Dilihat dari perspektif agama, sampah bersumber dari hati yang tercemar oleh dosa. Di zaman modern, sumber sampah yang lain dapat di- temukan dalam racun materialisme dan egoisme, gaya hidup boros/konsumtif, ketidakpedulian/tidak adanya kesadaran dan ketidaktahuan/kurang pemahaman mengenai hubungan yang seharusnya antara manusia dan lingkungan hidupnya.

Dalam konteks itu dapat dikemukakan peran strategis agama terhadap masalah sampah. Pertama, pembentukan karakter umat yang menghargai dan peduli pada kebersihan lingkungan. Kedua, pengaderan pemimpin umat yang berkomitmen pada pemeliharaan lingkungan hidup sebagai ibadah kepada Tuhan. Ketiga, mengembangkan pemikiran teologi agama-agama yang peduli pada hak-hak lingkungan sebagai ciptaan Tuhan. Keempat, menyediakan bahan pembinaan terhadap umat mengenai kaitan antara iman dan kepedulian pada lingkungan hidup sebagai bahan ajar untuk pembinaan dan pendidikan umat. Kelima, membangun kerja sama lintas iman pada semua aras organisasi keagamaan, mulai dari lapisan paling kecil di jemaah atau komunitas basis sampai kepada tingkat pemimpin.

Selain hal-hal yang bersifat strategis tadi, dapat juga diusulkan hal-hal yang lebih praktis. Pertama, pembinaan keimanan umat. Kedua, pembinaan khusus penyadaran mengenai pola hidup sederhana yang sejalan dengan kehidupan iman.

Ketiga, gerakan kebersihan lingkungan tempat ibadah, rumah warga sebagai wujud dari iman. Motonya: "Hidup bersih adalah ibadah". Termasuk di sini mengelola sampah secara pribadi/RT.

Keempat, gerakan peduli pada kebersihan lingkungan sekitar: bergotong royong membersihkan selokan dari kotoran sampah, menanam pohon di tempat kosong.

Kelima, bekerja sama dengan semua komponen dalam masyarakat menjadi mitra pemerintah untuk meminimalkan, mengumpulkan, dan mengelola sampah agar tidak mencemari lingkungan.

Keenam, melakukan lobi dan pembinaan terhadap perusahaan yang mencemari lingkungan.

Ketujuh, turut memprakarsai pelaksanaan program 3 R (reduce, reuse, recycle). Bisa membentuk kelompok minat sendiri atau bekerja sama dengan pemerintah, perusahaan swasta dan LSM, tentu dengan memberikan motivasi iman bahwa sumber daya alam harus dihemat dan dipelihara.

Kedelapan, bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk melakukan penyuluhan tentang hidup bersih sejalan dengan keimanan anak-anak/siswa-siswa.

Kesembilan, membentuk kelompok minat/sentra pemilahan sampah dalam lingkungan masing-masing warga, khusus untuk warga yang masih menganggur atau kelompok pemuda, siswa dan mahasiswa. Sekaligus pembinaan kader-kader yang menjadi penyuluh.

Kesepuluh, membentuk kelompok minat/sentra untuk mengelola sampah demi memperoleh kembali manfaat yang bisa turut mendanai kegiatan keagamaan. RP Borrong, Dosen STT Jakarta



Post Date : 05 Juni 2008