|
Banjir sebenarnya bukan semata persoalan gejala alam atau infrastruktur yang kurang. Musibah yang merendam sebagian besar Jakarta awal Februari lalu juga memaparkan masalah gaya hidup. Masyarakat urban yang kurang sadar lingkungan dan gemar nyampah turut memperparah banjir itu. Kamis (15/3) siang yang terik. Onggokan sampah menumpuk di tengah permukiman padat di tepi Sungai Krukut di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Lalat mengerumuni bermacam barang buangan yang berbau busuk itu. Sebagian warga cuek saja beristirahat siang di permukiman yang kotor itu. Ada yang ngelonjor tiduran, sekadar nongkrong, malah ada nekat nyemplung dalam air sungai yang coklat-keruh. Tampaknya, mereka berhasil berdamai dengan sampah. Sampah telanjur jadi bagian hidup mereka. Saya lahir dan besar di rumah ini. Warga di sini membuang sampah di tengah kampung atau di sungai. Habis, enggak disediakan tempat pembuangan sampah sih, kata Asmari (28), warga Cilandak Barat. Warga di kawasan Kebalen, yang berada di perbatasan Mampang-Kuningan Barat, Jakarta Selatan, juga akrab dengan sampah. Permukiman di bantaran Sungai Krukut yang tersembunyi di balik gedung-gedung megah itu menyimpan pemandangan jijay. Sungai makin dangkal dan sempit, rumah-rumah merengsek sempadan sungai, dan sampah menumpuk di mana-mana. Persoalan sampah juga mengganggu sebagian perumahan elite. Warga di Sektor IX dan V, Perumahan Bintaro, Tangerang, misalnya, mengeluhkan tiadanya wadah sampah permanen di rumah-rumah. Mereka terpaksa membuang bermacam sampah rumah tangga di bahu jalan. Akibatnya, perumahan yang mengklaim diri sebagai kota taman itu pun terlihat jorok. Sampah dibungkus plastik, lalu kami buang di pinggir jalan malam hari untuk diambil petugas pagi harinya. Tapi, kalau hari Minggu atau truknya macet, sampah teronggok terus, kata Soleh (39), warga Bintaro Sektor V, Rabu (14/3) lalu. Tak hanya di permukiman, sampah mewarnai tempat-tempat umum atau fasilitas publik, seperti jalanan, terminal, atau pasar. Bahkan, di mal yang menjual citra serba gemerlap pun, pengunjung biasa melempar bekas kemasan seenaknya. Begitulah, masyarakat sembarangan membuang barang bekas di ruang publik, tanpa rasa bersalah atau peduli dampaknya. Tabiat serupa juga kerap dilakoni kalangan industri seperti pabrik, hotel, atau rumah sakit. Produktif Warga Jakarta cukup produktif menghasilkan sampah. Kepala Sub-Dinas Pengendalian Kebersihan Dinas Kebersihan DKI Jakarta Unu Nurdin, menyebutkan, sembilan juta jiwa penduduk Jakarta pada malam hari dan 13 juta jiwa pada siang hari memproduksi 5.000-6.000 ton sampah per hari, atau sekitar 25.687 meter kubik per hari. Jenis sampah terbagi atas organik 55,37 persen, anorganik 44,63 persen termasuk didalamnya limbah B3 dan air kotor. Jenis sampah dari rumah tangga paling banyak dihasilkan, baru kemudian sampah industri dan rumah sakit, toko, dan pasar, pedagang kaki lima, serta taman. Pascabanjir, volume sampah meningkat jadi 59.000 meter kubik per hari, katanya. Dengan volume sebesar itu, sampah berandil besar dalam setiap banjir di Jakarta. Sampah banyak menyumbat sungai atau drainase, seperti saluran air atau got. Ketika hujan turun, arus air mandek lantaran dihambat tumpukan sampah tadi. Wajarlah, jika kawasan yang bersampah ikut terendam banjir awal Februari lalu. Permukiman di pinggir Sungai Krukut, Cilandak Barat, terendam sampai sepinggang selama tiga hari. Perumahan Bintaro Sektor V, VII, dan IX juga terkena banjir. Rumah saya terendam sampai atap selama seminggu lebih. Sampah busuk masuk dan memenuhi rumah, kata Iing (45), warga Kebalen VII, Kelurahan Kuningan Barat. Disiplin Lantas, kenapa warga Ibu Kota cenderung nyampah, padahal mereka semestinya mengetahui bagaimana dampak buruknya? Soal ini, pertama-tama, berpulang pada disiplin dan gaya hidup. Budaya urban membuat masyarakat makin individual sehingga hampir tidak peduli dengan hal-hal di luar dirinya, termasuk lingkungan. Mereka mau bersih-bersih sebatas ruang privat saja, seperti wilayah rumah, tetapi enggan mengurusi kebersihan di ruang publik. Sampah dari rumah tangga dibuang seenaknya ke wilayah bersama (common property), seperti jalanan, lahan tidur, atau sungai. Soalnya, kawasan itu dinilai tak menuntut tanggung jawab pribadi. Apa mau dikata, rasa kepemilikan warga terhadap ruang publik memang rendah. Kondisi bertambah parah karena gaya hidup warga kota yang makin konsumtif tidak disertai kesadaran lingkungan. Setelah mengonsumsi barang yang dibeli, bungkus atau kemasannya dilempar begitu saja. Mereka enggan mengeluarkan biaya atau tenaga demi menciptakan lingkungan yang bersih. Kebersihan masih dianggap sebagai kewajiban pemerintah, bukan tanggung jawab bersama. Direktur Eksekutif Perumahan Summarecon Kelapa Gading, Jakarta Utara, Adrianto P Adhi, mengungkapkan, sulit mendorong warga elite di situ untuk bergotong-royong mengelola lingkungan. Pengembang pernah mengajak pemilik ruko untuk patungan Rp 2,5 juta per ruko demi mengeruk saluran air, tetapi yang menyumbangkan hanya 20 persen. Akibat partisipasi warga minim, rencana itu pun kandas. Diterpa banjir berkali-kali, warga Jakarta tetap masih menggantungkan urusan kebersihan kepada pemerintah atau pengembang di perumahan. Hanya segelintir warga yang rela turun tangan membersihkan sampah, meski itu di sekitar rumahnya sendiri. Celakanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak memiliki infrastruktur, sarana, dan teknologi yang memadai untuk mengelola sampah. General Manajer Corporat Communication Perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Dhonny Rahajoe, mengaku, perusahaan memiliki mesin incinerator yang bisa membakar sampah dalam suhu tinggi sehingga jadi abu, yang kemudian bisa dicampurkan dalam pupuk kompos. Tapi, operasi mesin terpaksa dihentikan sejak awal 2006 karena biayanya terlalu mahal. Mau menarik iuran warga, terlalu berat. Kami butuh insentif khusus dari pemerintah, katanya. (pingkan elita dundu/ lusiana indriasari/Ilham Khoiri) Post Date : 18 Maret 2007 |