|
SEMARANG- Beragam sampah, terutama berupa plastik dan kertas, Minggu (15/1) pagi kemarin terlihat berserakan di Simpanglima. Sampah-sampah itu bukan hanya ada di lapangan, melainkan juga di jalan di sekeliling lapangan tersebut. Saat angin bertiup agak kencang, sampah-sampah itu ikut beterbangan. Maria (25), mahasiwa sebuah PTS yang pagi kemarin berjalan-jalan di Simpanglima, menilai tempat itu tak ubahnya seperti pasar pindah. ''Pada saat-saat seperti ini, Simpanglima memang bukan tempat yang indah untuk dilihat,'' ujarnya. Menurut dia, ruang publik itu seharusnya ditata sedemikian rupa, agar mencerminkan sebagai wajah Kota Semarang. Namun kenyataannya justru sebaliknya, kesan kumuh dan kotor yang tampak. ''Mungkin tempat sampah di Simpanglima juga perlu ditambah,'' imbau dia. Secara terpisah, Kepala Dinas Kebersihan Kota Semarang, Cahyo Bintarum mengatakan, kondisi kawasan yang kotor pada Minggu pagi sudah berlangsung lama. Upaya yang dilakukan adalah membersihkan tempat itu, setelah para PKL berhenti berjualan. Landmark Saat ini, Pemkot juga mengurangi waktu berjualan para PKL di lapangan. Nantinya setelah mereka benar-benar tidak diizinkan berjualan di tempat itu, sampah akan berkurang. ''Selama masih ada PKL di sana, upaya yang dilakukan hanyalah membersihkan sampah secara rutin,'' paparnya. Sementara itu, menurut anggota Komisi B DPRD Kota, Ari Purbono, kawasan Simpanglima merupakan salah satu landmark atau ciri khas Kota Semarang. ''Maka, tidak ada pilihan lain kecuali menata tempat itu,'' katanya. Salah satu persoalan yang kerap muncul adalah keberadaan PKL yang cenderung ''menguasai'' ruang publik tersebut. Padahal, mestinya kawasan itu milik 1,4 juta jiwa warga Kota Semarang. PKL sebenarnya tidak harus di Simpanglima, tetapi bisa di tempat lain, misalnya di sekitar Museum Ronggowarsito. Mereka bisa ditata, asalkan tidak mengganggu fungsi dan mengurangi hak pengguna jalan. Selama ini, Pemkot memang telah berupaya menata PKL. Namun persoalannya, menurut dia, dalam melakukan hal itu Pemkot masih bersikap mendua. Pemkot memang beberapa kali melakukan penertiban. Namun di sisi lain, pemerintah juga mengharapkan peningkatan pendapatan daerah dari sektor itu. ''Mestinya kedua hal ini tidak bisa dicampur aduk.'' Untuk masalah sampah, aturan mainnya pun sudah jelas. Misalnya orang yang membuang sampah sembarangan bisa dikenai denda paling tinggi Rp 50.000 atau kurungan paling lama tiga bulan. ''Aturan mainnya sudah jelas, tinggal Pemkot yang harus tegas,'' kata dia. Ari juga mengamati penggunaan Simpanglima untuk acara-acara hiburan. Menurut dia, mestinya ada aturan tertulis tentang penggunaan kawasan itu, sehingga ketika ada pihak ketiga yang meminta izin untuk suatu acara, Pemkot juga tidak bisa seenaknya memberikannya. ''Penataan harus menyeluruh, jangan sepotong-potong,'' ungkap dia. (G6-18s) Post Date : 16 Januari 2006 |