Sampah Bekas Banjir DKI Jadi Rebutan

Sumber:Pikiran Rakyat - 15 Februari 2007
Kategori:Sampah Jakarta
WADUH, kan aki keur gawe. Make difoto sagala. Ngerakeun.. (Waduh, kan saya lagi kerja. Kok difoto segala. Malu-maluin)," ujar lelaki separuh baya itu sambil membenahi tumpukan kayu yang berserakan.

Rupanya, cahaya matahari lebih akrab dengannya dibandingkan kilatan blitz kamera. Saat itu, lelaki berusia 55 tahun yang kerap dipanggil Aki Nadja ini, bersama rekannya, Parman (36) tengah beristirahat dipayungi lembaran papan tripleks di antara tumpukan sampah.

Aki Nadja tertawa ketika ditanya berapa banyak keuntungan yang ia peroleh sejak DKI Jakarta mengirimkan sampah-sampah sisa banjir ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang Kota Bekasi? "Sama bae. Pemasukan mah tetap sama, ada kiriman banjir atau enggak," ujar Aki Nadja, yang juga dibenarkan oleh Parman, pemulung yang berasal dari Bogor.

Menurut dia, sebelum dan sesudah adanya kiriman sampah bekas banjir di Kota Jakarta, tidak ada yang berubah, baik dalam hal jumlah kayu yang dikumpulkan maupun penghasilan yang diperolehnya.

Namun, tidak bagi Karmi (31). Pemulung barang-barang plastik itu justru mendapat penghasilan tambahan dari tumpukan sampah bekas banjir di Jakarta.

Bagi Aki Nadja dan Parman, untuk mengumpulkan kayu sebanyak 1 mobil pick-up dibutuhkan waktu 5 hari. Sebagian besar sampah sisa banjir adalah kayu-kayu kusen yang terkoyak. Tetapi, itu tidak mengubah nasib Aki Nadja dan Parman, yang belum setahun menggeluti profesi itu. Dari satu bak mobil itu, Aki Nadja memperoleh penghasilan bersih Rp 150.000,00, untuk menafkahi istri dan dua anaknya. Demikian juga dengan Parman. Mereka berdua tetap saja kekurangan. "Tetep aja tekor," kata Aki Nadja, warga Kelurahan Ciketing Udik, Kab. Bogor itu seraya mengipaskan bekas kardus mi instan untuk menghilangkan kepenatannya.

Pembeli barang-barang mereka datang dari Cikarang dan Cibarusah Kab. Bekasi. Biasanya, kayu-kayu yang dikumpulkan Aki Nadja dan Parman, digunakan pembeli untuk membakar batu bata yang mereka produksi. Pembelian kayu dilakukan tidak tentu, sehingga pendapatan yang diperoleh Aki Nadja ataupun Parman, tidak tentu pula. Ditambah lagi jika kayu-kayu yang dikumpulkan mereka dalam kondisi basah, harganya pun jadi lebih murah.

Persaingan antar-pemulung pun semakin ketat. Pasalnya, selain mereka berdua, banyak pemulung baru yang memunguti sampah kiriman itu. Banyaknya pemulung di zona III B3, lahan khusus sampah banjir DKI Jakarta, disebabkan para pemulung menarik diri dari zona lain tempat mereka biasanya mengais rezeki. "Mereka pada ngumpul di sini," ucap Parman.

Maka, saat truk pengangkut sampah dari Jakarta tiba, langsung dikerumuni pemulung dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan cekatan mereka memilah-milah sampah menggunakan besi pengait.

Menurut Karmi (31), salah seorang pemulung, meski penghasilannya bertambah, tetap saja tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Penghasilan tambahan diperoleh, kalau sebagian besar sampah yang ia pungut berupa gelas plastik. Setiap kilogram sampah tersebut dihargai Rp 4.400,00, lebih tinggi dari sampah kayu dan lainnya. Namun, dari sampah bekas banjir justru yang lebih banyak sampah kantong plastik. Itu artinya, ia mesti bekerja lebih giat dan rela berdesak-desakan dengan pemulung lain saat truk sampah menurunkan muatannya. (Dewiyatini/"PR")



Post Date : 15 Februari 2007