BANDUNG, KOMPAS - Pemerintah Kota Bandung sedikit lega setelah blokade Jalan Cirata di Desa Sarimukti dibuka kembali oleh warganya. Pembukaan blokade itu melancarkan kembali pengangkutan sampah yang sempat menumpuk empat hari.
Jika pengolahan sampah di hilir tak diperhatikan, penumpukan sampah terancam ter- ulang. ”Volume sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sarimukti didominasi sampah asal Kota Bandung, hampir 75 persen. Sisanya sampah dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah di sana karena berhubungan dengan kota/kabupaten lain. Jadi, untuk sementara masalah sampah di Bandung tertolong,” ujar Prof Enri Damanhuri, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Minggu (19/12).
Jumat lalu, warga Desa Sarimukti, Rajamandala, dan Mandalasari di sekitar TPA Sarimukti membuka blokade akses Jalan Cirata setelah Pemprovi Jabar mengirimkan material untuk perbaikan jalan. Blokade terpaksa dilakukan karena kondisi jalan di lingkungan mereka rusak parah akibat dilalui truk pengangkut sampah dari empat kabupaten/kota setiap hari.
Blokade mengakibatkan penumpukan sampah di berbagai sudut Kota Bandung. Warga dibuat resah oleh hal ini karena timbunan sampah itu meng- uarkan bau tak sedap, lalat, dan arus lalu lintas tersendat akibat menyempitnya badan jalan. Timbunan sampah yang tak terangkut selama empat hari itu lebih dari 8.000 meter kubik.
Setelah pembukaan blokade, pengangkutan ke TPA Sarimukti digenjot pemerintah melalui PD Kebersihan Kota Bandung. Direktur PD Kebersihan Kota Bandung Cece H Iskandar menyebutkan, perlu waktu seminggu untuk mengangkut tumpukan sampah. ”Kami juga menyewa truk pengangkut sampah untuk menambah 97 armada kami agar sampah di Kota Bandung lebih cepat terangkut,” kata Cece.
Bahaya laten
Namun, masalah sampah di Kota Bandung tidak lantas berhenti dengan dibukanya blokade warga. Sampah adalah masalah laten yang menghantui Kota Bandung. Hal itu dikarenakan selama ini kesadaran pengolahan sampah oleh warga Bandung di tingkat lingkungan tempat tinggal masih rendah.
”Pola penanganan sampah di Bandung selama ini mengandalkan pembuangan ke TPA. Padahal, TPA Sarimukti punya kapasitas maksimal. Adapun rencana Pemerintah Provinsi Jabar untuk membangun TPA di Legoknangka belum jelas. Sementara menunggu TPA baru, yang bisa dilakukan warga adalah mengelola sendiri sampahnya,” lanjut Enri.
Pakar tata kota dari ITB, Denny Zulkaidi, menilai Bandung perlu punya rencana induk (master plan) pengolahan sampah. Rencana itu bisa berbentuk peraturan daerah tentang pengolahan sampah yang diturunkan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan itulah yang nanti diharapkan mengikat warga Kota Bandung, termasuk pemerintahnya, untuk mengelola sampah dengan cara-cara yang dicantumkan di dalamnya.
”Sebenarnya masalah sampah juga dialami kota/kabupaten lain. Tetapi, mereka bisa menggerakkan warganya untuk mengolah sampah jadi kompos, misalnya. Jadi, itu tergantung dari kemauan pemerintahnya saja,” ujar Enri.
Sebelumnya, Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda menyebutkan, salah satu solusi penanganan sampah adalah dengan membuat insinerator. Namun, menurut dia, hal itu juga harus dibarengi dengan sosialisasi pengolahan sampah di tingkat lingkungan tempat tinggal, misalnya dengan pola mengurangi (reduse), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle) atau 3R. ”Sosialisasi 3R masih terus dilakukan,” ujar Ayi. (HEI)
Post Date : 20 Desember 2010
|