Sahabatku Sungai Barito, Mengapa Engkau Tak Seramah Dulu

Sumber:Kompas - 27 April 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
KAMI takut saat bulan purnama nanti datang," begitu ungkap warga korban banjir di Desa Rimbun Tulang, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Warga takut bulan purnama bukan karena akan datang siluman jadi-jadian seperti dalam dongeng, melainkan takut banjir akan datang semakin tinggi.

Warga tepian Sungai Barito di Kecamatan Kuripan kini memang sedang dilanda banjir. Banjir "diam", sebuah banjir kiriman yang datang tiba-tiba dan tak mau segera pergi. Berbeda dengan banjir di Pulau Jawa, banjir di Kalimantan Selatan memang berlangsung lama hingga satu bulan.

Perkampungan di daerah itu sudah menyatu dengan permukaan air Sungai Barito. Ikan-ikan dengan riang gembira juga terlihat nyelonong keluar masuk rumah karena menganggap daerah baru itu bagian dari sungai tempat tinggalnya.

Warga yang sudah dua pekan direndam banjir hingga setinggi 1,5 meter kini khawatir akan datangnya bulan purnama karena dipastikan banjir lebih parah dan lebih lama. Datangnya purnama pertanda air laut pasang naik.

Jika air laut pasang naik, arus Sungai Barito akan berbalik karena terdesak air laut. Maklum saja karena muara Barito yang ada di Banjarmasin berada di ketinggian minus tujuh meter di atas permukaan laut.

Jika datangnya air kiriman dari hulu Sungai Barito bersamaan dengan datangnya pasang naik, bisa dipastikan daerah-daerah tepi Sungai Barito terendam. Kejadian itu pernah menimpa warga 10 tahun yang lalu.

Camat Kuripan Noor Efansyah merupakan salah satu warga yang khawatir menghadapi bulan purnama yang akan jatuh pada 24 April nanti. Untuk menghadapi bulan purnama itu Noor Efansyah sudah mengajukan ranjang tinggi ke pemerintah daerah.

"Rumah dinas camat ini ternyata belum dilengkapi ranjang. Jadi, ketika air masuk ke dalam rumah terpaksa kami tidur di atas papan yang ditinggikan dan kemudian diberi kasur seperti ini," tutur Noor Efansyah menunjukkan ruang tidurnya.Warga lain yang tidak punya akses membeli ranjang terpaksa membuat papan-papan yang ditinggikan untuk tidur di malam hari. "Papan-papan yang disusun tinggi itu juga digunakan untuk masak setiap hari," ujar Hariyono, warga Desa Rimbun Tulang Kuripan.

Tiap hari hampir seluruh waktu warga diluangkan untuk mengatasi dampak banjir. Di antaranya ada yang membuat atau memperbaiki jukung (perahu dayung khas Kalsel), ada yang membuat titian, dan juga sibuk menyelamatkan barang elektronik serta perabot rumah tangga ke tempat tinggi.

Warga Desa Jambu Baru, Nasrullah, mengaku, menjelang purnama ini semua keluarga menyiapkan perahu jukung masing-masing. "Saat purnama pasti air akan naik karena gravitasi bulan membuat air pasang naik," ujarnya.

TIDAK ada eksodus yang terlihat karena pada dasarnya warga sudah terbiasa melihat air, di samping mereka khawatir jika rumah ditinggalkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Walaupun mereka terbiasa bersahabat dengan air, namun aktivitas warga benar-benar lumpuh.

"Kami setiap hari hanya bisa makan mi instan, tidak bisa masak," tutur Hariyono. Persoalannya stok makanan kini menipis dan bantuan terbatas mengingat daerah tersebut lebih dekat ke Kalimantan Tengah daripada ke Kalsel.

Direktur Eksekutif Center for Research Development Studies (CRDS) Kalimantan Setia Budhi menyebutkan, kini warga tepian Barito benar-benar menghadapi beban berat akibat meluapnya Sungai Barito. Sampai-sampai warga harus minum air banjir yang tercemar," ungkapnya.

Warga terpaksa mengonsumsi air banjir karena sumur mereka juga sudah terendam banjir. Padahal, air tersebut merupakan gelontoran limbah penambangan emas di bagian hulu Sungai Barito di Kalteng terutama di Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, dan Murung Raya.

"Karena itu, warga harus hati-hati dalam menggunakan air kiriman ini. Kalau perlu penggunaan air banjir dihentikan," ujar Setia Budhi. Pihak luar diharapkan tanggap terhadap bencana banjir ini dengan mengirimkan bantuan makanan dan juga air bersih.

Di seberang Sungai Barito memang sudah masuk wilayah Kabupaten Kuala Kapuas, Kalteng. Sementara jarak Kuripan ke ibu kota kabupaten, yaitu Marabahan, harus ditempuh dengan kendaraan air yaitu perahu kelotok dengan waktu tempuh mencapai empat jam.

Sekolah-sekolah yang ada di kecamatan itu juga diliburkan karena air mengganggu proses belajar mengajar. Kegiatan perdagangan, pasar-pasar, toko-toko, dan warung milik warga memilih tutup dan mengungsikan barang-barangnya ke tempat tinggi.

Lalu lintas tidak lagi bising dengan raungan kendaraan darat karena semuanya sudah diganti dengan perahu jukung dan perahu kelotok. Di depan rumah mereka bukan lagi sepeda motor atau mobil yang diparkir melainkan perahu jukung dan kelotok tadi.

Seorang gadis kecil terlihat terdiam sambil kedinginan membekap jeriken yang digunakan untuk berenang. Rupanya datangnya air selama dua pekan ini sudah membuat anak-anak yang biasanya riang gembira menjadi bosan.

SUASANA di daerah yang lebih hilir tepatnya di Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, sekitar empat jam perjalanan menggunakan perahu kelotok ke arah muara laut, juga tak beda dengan di Kuripan. Warga di daerah hilir itu kini juga dicekam oleh banjir.

Kepala Desa Bakambat, Kecamatan Aluh-Aluh, Bahrani menyebutkan daerahnya kini juga terimbas luapan banjir dari hulu Sungai Barito. "Kami juga kena dampaknya. Air luapan Sungai Barito memang lancar menuju ke laut, namun ketika air laut pasang naik air Barito menuju ke daerah kami dan merendam desa-desa kami," tuturnya.

Ketinggian banjir mencapai 1,5 meter. Berbeda degan banjir di Kecamatan Kuripan yang airnya relatif stabil, hal yang menyebabkan di Aluh-Aluh adalah banjir tersebut terulang-ulang terus setiap hari sesuai dengan jadwal air laut pasang naik.

Jika di Kuripan takut datangnya bulan purnama, warga di bagian hilir lagi lebih takut. Datangnya purnama akan membuat banjir kali ini lebih lama merendam rumah warga. Selain merusak rumah kayu, banjir kali ini juga merusak benih padi serta tanaman padi seluas ratusan hektar.

Seperti semut-semut yang mengitari kawasan gula, begitulah gambaran perkampungan di tepi Sungai Barito. Rumah-rumah panggung berderet rapi menghadap sungai. Bukan hanya di bantaran sungai saja bahkan rumah-rumah panggung itu dibangun tepat di atas air di pinggiran sungai.

Sejak zaman batu hingga zaman komputer ini sungai di Kalimantan Selatan tetap menjadi pusat peradaban, pusat rezeki, dan simbol kemakmuran masyarakat. Orang luar Kalimantan akan bertanda tanya, mengapa orang-orang membangun rumah di tepi sungai, apakah tidak takut banjir?

Beberapa tahun silam pertanyaan itu begitu "bodoh" karena karakteristik sungai di Kalimantan berbeda dengan di Pulau Jawa, misalnya. Sungai-sungai di Kalimantan bertipe meander yang berkelok-kelok, banyak tahanan atau rintangan berupa kelokan maupun vegetasi, sehingga tak akan menjadikan sungai-sungai itu meluap.

Begitu damai, indah, dan tenang memandangi Sungai Barito yang lebarnya mencapai satu kilometer itu. Tak ada banjir, yang ada hanya pasang naik pengaruh dari air laut yang diantisipasi dengan rumah panggung warga yang tingginya mencapai dua meter.

Kenyataan itu kini berubah 180 derajat. Setelah kerusakan hutan dan alam di bagian hulu tak terhindarkan lagi, warga tepian Sungai Barito kini mengenal banjir. Setia Budhi mengungkapkan, penebangan kayu dan penambangan di bagian hulu merupakan salah satu penyebab datangnya bencana ekologi di bumi Kalimantan saat ini.

Sungai Barito, yang sudah ribuan tahun memberikan perlindungan, menyediakan makanan, dan menjadi denyut nadi ekonomi masyarakat, kini tak lagi ramah. Sungai Barito, mengapa engkau datangkan kemarahan bagi warga negeri sungai yang memujamu sejak dulu? (Amir Sodikin)

Post Date : 27 April 2005