Padalarang, KOMPAS - Debit air di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada Februari 2011 hanya 55 meter kubik per detik sehingga turut memicu surutnya ketinggian air waduk. Debit itu merupakan angka terendah yang pernah dicatat Saguling sejak mulai beroperasi 1986, sehingga bisa mengganggu listrik Jawa-Bali.
Menurut pantauan Kompas, Kamis (24/3), permukaan air berjarak hampir sembilan meter dari pintu spillway waduk. Surutnya air waduk ini mengakibatkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling mengoperasikan turbin hanya selama masa beban puncak. Di luar itu, empat turbin dengan kapasitas terpasang 700 megawatt diistirahatkan.
Menurut Manajer Sipil dan Lingkungan Unit Bisnis Pembangkitan Saguling PT Indonesia Power Pitoyo Punu, ada tiga skenario operasional curah hujan, yakni tinggi, normal, dan rendah. Kondisi saat ini hanya 632,2 meter di atas permukaan laut atau jauh di bawah skenario hujan skala rendah, yakni 636 mdpl.
Bahkan, sudah diupayakan hujan buatan selama satu bulan, tetapi hasilnya kurang optimal. Air masuk bulanan pada Februari 2011 hanya 55 meter kubik per detik dari rata-rata 140 meter kubik per detik. Proyek itu memakan biaya hampir Rp 1 miliar atau sekitar Rp 115 juta per hari.
Kondisi ini jauh berbeda dengan tahun 2010 yang mencapai 295 meter kubik per detik. ”Tahun lalu pembangkit listrik kami bekerja nonstop selama empat bulan dan mampu memproduksi 4.000 gigawatt per jam selama setahun,” ujar Pitoyo.
PLTA Saguling saat ini hanya beroperasi selama beban puncak sembari memberi kesempatan untuk menambah kapasitas air. Produksi tahunan Saguling mencapai 2.156 gigawatt per jam dan berkontribusi sekitar tujuh persen dari sistem interkoneksi Jawa-Bali.
Efek orografik
Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik Badan meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mulyono Prabowo, Kamis di Jakarta, mengatakan, fenomena dry cell atau terhambatnya pembentukan awan pada puncak musim hujan terjadi di area tangkapan hujan Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Akibatnya, curah hujan di area itu turun drastis sehingga elevasi ketiga waduk jauh di bawah pola normal, bahkan di bawah pola kering pada puncak musim hujan tahun ini.
”Fenomena itu dipengaruhi efek orografik dataran tinggi di sebelah barat hulu Sungai Citarum. Awan yang mengandung banyak uap air dari barat terlebih dahulu mendatangkan hujan di Bogor dan sebelah barat hulu Sungai Citarum,” kata Mulyono.
Penurunan curah hujan tersebut mengakibatkan rendahnya aliran air yang digunakan untuk menggerakkan turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) milik PT PLN (Persero). Bahkan, menurut Direktur Operasi Jawa-Bali PT PLN (Persero) Ngurah Adnyana, secara normal produksi listrik dari PLTA pada ketiga bendungan tersebut mencapai 1.600 megawatt, tetapi saat ini PLN kehilangan produksi sampai 1.000 MW.
”Baru pertama kali ini terjadi, PLN mengalami kehilangan produksi listrik hingga mencapai 1.000 MW dari PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur,” kata Adnyana. (ELD/GRE/MKN/NAW)
Post Date : 25 Maret 2011
|