Saatnya Menghentikan Retorika

Sumber:Kompas - 23 Desember 2009
Kategori:Climate

Konferensi Perubahan Iklim PBB telah usai dengan sebuah hasil yang tidak memuaskan bagi sebagian besar negara berkembang. Bagi Indonesia, ada hasil yang dikantongi, yaitu diterimanya metodologi skema REDD.

Itu berarti bahwa dunia luar percaya, Indonesia akan mengurangi emisinya dari perusakan hutan. Skema REDD merupakan skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan.

Sukses di atas adalah salah satu perwujudan tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Indonesia harus menjadi bagian dari solusi menghadapi tantangan perubahan iklim global.

Tekad itu diawali dengan pernyataan Presiden pada akhir September lalu. Saat itu Presiden menyatakan, Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dari kondisi jika tidak melakukan apa-apa (business as usual) pada tahun 2020. Penting dicatat, pernyataan Presiden itu keluar beberapa hari setelah Jepang menyatakan komitmennya mengurangi emisi gas rumah kaca 25 persen di bawah level 1990 pada tahun 2020. Pernyataan Yudhoyono tersebut memicu pertanyaan dari banyak pihak: dari mana 26 persen akan diambil?

Pasalnya, pada bulan Agustus baru dipaparkan hasil perhitungan emisi nasional versi McKinsey yang dirilis oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim. Di sana tidak disebut-sebut soal pengurangan emisi 26 persen, melainkan hanya disebutkan bisa menekan emisi hingga 2,3 miliar ton per tahun pada tahun 2030. Dewan ini diketuai oleh Presiden sendiri.

Ketika itu juga muncul pernyataan bahwa Indonesia tidak berniat memasang target pengurangan emisi seperti negara- negara Annex I yang notabene adalah negara-negara industri. Dalam Protokol Kyoto, merekalah yang diwajibkan mengurangi emisi dalam jumlah besar.

Kontribusi negara-negara berkembang dalam pengurangan emisi dibutuhkan untuk dapat mencapai target ambisius dunia menahan kenaikan suhu global agar tidak melebihi 2 derajat celsius. Jika hanya berdasarkan target negara Annex I saja, tidak akan cukup.

Kerja besar


Mengurangi emisi 26 persen bukan hal kecil. Bahkan, Jepang yang menguasai teknologi maju saja setelah lebih dari 10 tahun dituntut baru menyatakan siap tahun ini. Penurunan emisi mengandung paradigma pembangunan dengan teknologi tinggi sebagai upaya mitigasi. Bagi negara berkembang, lebih banyak didorong ke arah langkah-langkah adaptasi, yaitu mengatasi dampak langsung.

Tak heran, banyak pihak meragukan tercapainya ambisi Indonesia. Persoalannya, untuk bisa menurunkan emisi 26 persen, dibutuhkan ”kesepakatan nasional” yang melibatkan semua pemangku kepentingan.

Anehnya, dalam paparan di Kopenhagen, Denmark, unsur masyarakat sudah disampaikan sebagai pihak yang dilatih agar tidak melakukan pembakaran lahan. Namun, belum muncul unsur swasta sebagai salah satu pemangku kepentingan. Sejumlah fakta menunjukkan, persoalan di sektor kehutanan justru banyak muncul dari praktik korporasi yang seenaknya melanggar ketentuan. Banyak kasus pembalakan liar yang saat ditelusur ternyata bermuara pada korporasi-korporasi raksasa.

Di sektor kehutanan juga terdapat korporasi raksasa di bidang pertambangan yang selain perlu menggunduli hutan guna mengeruk bahan tambang juga merusak lahan, antara lain, untuk pembuangan tailing atau jalur transportasi.

Menabrak realitas

Pada saat bersamaan pula, narasi Presiden dan para pejabat senior tersebut ditabrakkan pada sejumlah realitas di lapangan. Oleh karena itu, konsekuensi dari narasi Presiden adalah kerja keras karena banyak hal harus ditata ulang.

Pada awal Desember lalu, setelah Presiden mengungkapkan penurunan emisi 26 persen dan kemudian disebutkan bahwa sektor kehutanan harus menurunkan emisi, di lapangan justru terungkap: Departemen Kehutanan mengeluarkan 30 izin yang bakal menguras kayu alam di daerah Riau. Pemerintah daerah setempat pun berteriak.

Belum lagi penghargaan lingkungan bagi korporasi besar yang ternyata diwarnai praktik ”tawar menawar” kriteria. Jika korporasi tak siap, kriteria tertentu bisa dikesampingkan.

Melihat kondisi tersebut, tak heran banyak pihak bertanya-tanya tentang ambisi menurunkan emisi tersebut. Padahal, menurut ahli klimatologi dan emisi, Rizaldi Boer, dengan efisiensi energi di berbagai bidang, emisi bisa dikurangi sekitar 10 persen. Namun, katanya pula, Indonesia sebenarnya tak perlu menyebut angka karena tidak wajib.

Perkara lain yang bakal menghadang upaya penurunan emisi di sektor kehutanan adalah ratusan konflik antara masyarakat lokal dan pihak korporasi penguasa hutan terutama di Kalimantan dan Papua. Mekanisme free, prior, and informed consent (FPIC) sebagai suatu bentuk pengakuan kesertaan masyarakat lokal masih sering dilanggar.

Di dalam rombongan Presiden Yudhoyono ke Kopenhagen, terdapat tujuh kepala daerah. Rupanya dunia luar menyadari pentingnya pendekatan kepada kepala daerah. Ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Disadari, pemerintah daerah adalah penjaga gawang pertama dan terakhir dari wilayah hutan atau sumber daya lainnya. Persoalannya, kepentingan pemerintah pusat dan daerah sering kali berbeda sehingga apa yang dicegah oleh pemerintah daerah bisa lolos di pusat.

Di daerah sendiri antara apa yang dicanangkan dan apa yang berlaku di lapangan juga masih banyak kesenjangan.

Persoalan lain adalah tumpang tindih dan amat beragamnya data di berbagai sektor. Ketidakakuratan data akan mengakibatkan kurang akuratnya penyelesaian masalah.

Kerja keras

Presiden di Bandara Halim Perdanakusuma tiga hari yang lalu menegaskan akan segera memutakhirkan rencana aksi nasional untuk memastikan teradopsinya Persetujuan Kopenhagen dalam kebijakan nasional. Presiden juga berjanji menyusun rencana aksi tersebut sejalan dengan rencana aksi pemerintah daerah terutama yang memiliki hutan-hutan utama.

Narasinya mudah, tetapi menyusun rencana aksi tidaklah sederhana karena rentang wilayah dan kompleksitas persoalan di Indonesia yang tinggi. Pemodelan yang akan menjadi dasar jelas tak boleh menyimplifikasi persoalan.

Yang tersulit adalah menata birokrasi yang sering tumpang tindih atau bahkan saling berbenturan kepentingan. Contohnya adalah Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Departemen Kehutanan.

Masalah legislasi, persoalannya tak kalah rumit. Perundang- undangannya bagus secara dirinya, tetapi berbagai persoalan muncul. Pertama, implementasi amat lemah (entah apa sebabnya). Kedua, substansi sering berbenturan atau tumpang tindih antarinstansi. Mengandalkan perangkat hukum jelas tak kuat.

Persoalannya terletak pada paradigma pembangunan yang dianut dan pada sumber daya manusia. Jika kita masih mengadopsi paradigma pembangunan daratan (continent) dan bukan kepulauan, pulau-pulau kecil harus bersiap mengalami proses penghancuran secara cepat oleh tangan-tangan korporasi raksasa.

Contohnya adalah Pulau Lembata yang diincar banyak korporasi pertambangan. Ketika pembangunan masih berdasarkan paradigma megastruktur, justru ekonomi kerakyatan dan daya dukung alam akan ambruk. Misal, kebijakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir yang lebih dipilih dibandingkan dengan diversifikasi sumber daya energi dengan lokalitas yang diperhitungkan cermat.

Kebijakan baru di bidang energi semoga sesuai dalam perjalanannya di lapangan. Karena jika tidak ada keberpihakan secara sungguh-sungguh, kita hanya akan menjadi bulan-bulanan korporasi raksasa dan negara-negara industri.

Akhirnya, kunci sukses penurunan emisi 26 persen adalah dengan menghentikan retorika sebab retorika hanya akan menjebak kita. Yang diperlukan adalah keberanian membalik secara besar-besaran logika pembangunan yang sudah berlangsung berdekade-dekade.

Ini bukan perkara narasi hebat dan indah, bukan perkara pengakuan dari dunia internasional, melainkan perkara kerja keras dan keberanian karena di depan sana akan rawan konflik. Bisa dimaklumi karena banyak pihak akan terganggu zona nyamannya. Jujur, sudah saatnya menghentikan retorika.... BRIGITT ISWORO LAKSMI



Post Date : 23 Desember 2009