|
MARET 2006, sampah menumpuk di seluruh tempat pembuangan sementara (TPS) di Kota Bandung, bahkan meluber ke badan jalan hingga menyebabkan kemacetan. Saat itu, Kota Bandung tak memiliki tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. TPA Jelekong dan TPA Sementara Cicabe, berakhir masa pakainya. Sementara untuk membuka kembali TPA Leuwigajah di Cimahi, tentu bukan opsi terbaik. Tragedi longsor sampah yang menelan seratus lebih korban jiwa di lokasi itu masih menyisakan masalah sosial dan hukum yang belum tuntas. Pemkot Bandung pun kelabakan mencari TPA baru. Padahal, produksi sampah setiap hari mencapai 7.500 m3. Kondisi itu memaksa Wali Kota Bandung Dada Rosada menyatakan Kota Bandung dalam "darurat sampah". Citra Kota Bandung pun sempat merosot di mata wisatawan. Hal itu juga mendorong HU Pikiran Rakyat menggelar diskusi di Redaksi, Jln. Soekarno-Hatta 147 Bandung tanggal 5 Mei 2006. Acara yang dihadiri Wali Kota Bandung Dada Rosada, Wali Kota Cimahi Itoc Tochija, dan Bupati Bandung Obar Sobarna tersebut mengemuka, TPA tetap salah satu opsi pemecahan sampah, selain community development berupa pengolahan sampah di tempat tinggal warga. Namun, opsi pertama itu kerap terbentur mekanisme birokrasi dan tekanan dari masyarakat di sekitar calon lokasi TPA. Alternatif lokasi TPA pun dicari. Beruntung, Kodam III/Siliwangi membantu menyediakan lahan di Cikubang, Kp. Sasaksaat, Desa Sumurbandung dan Perhutani di Kp. Gedig, Desa Sarimukti, Kec. Cipatat, Kab. Bandung. Maka, sejak 26 Mei 2006 lalu, tumpukan sampah yang menggunung di Kota Bandung mulai dibuang ke dua lokasi tersebut. Sedikitnya, dibutuhkan 1.816 unit dump truck untuk mengangkut ribuan kubik sampah dari setiap TPS. Namun, pada "Malam Anugerah Penghargaan Lingkungan dan Adipura", di Jakarta, Kota Bandung mendapat predikat Kota Metropolitan Terkotor oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Predikat yang tentu saja menyesakkan dada. Praktis, sampah Kota Bandung menjadi "masalah nasional". Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengultimatum Gubernur Jawa Barat dan Wali Kota Bandung segera menyelesaikan persoalan itu. SBY prihatin, bahkan malu melihat Kota Bandung sangat kotor. WALI Kota Bandung Dada Rosada pun mengambil langkah, dengan berencana membangun pabrik pengolah sampah menjadi listrik (waste to energy) bersama PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL). "Sudah waktunya Bandung mengolah sampah dengan teknologi, jika sanitary landfill sudah tidak mungkin diterapkan," katanya. Tim ad hoc pun dibentuk untuk mengkaji konsep pengolahan sampah Kota Bandung, dengan anggota Bappenas, Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek), KLH, Pemkot Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Pemkot Bandung mengajukan bantuan dana Rp 684 miliar, terdiri dari Rp 54 miliar untuk penanganan sampah di TPA Gedig (Sarimukti) dan Rp 630,25 miliar untuk pembangunan pabrik sampah. Namun, tim ad hoc memutuskan sharing dana untuk penanganan sampah senilai Rp 10 miliar. Dari keseluruhan dana, pemerintah pusat memberikan 50%, pemerintah Prov. Jawa Barat 25%, dan 25% lainnya oleh Kota Bandung dan Kota Cimahi. Penanganan difokuskan untuk pengomposan di TPA Gedig. Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Bandung, lalu bergabung dengan Pemkot Bandung dan PT BRIL untuk mewujudkan waste to energy. Sebidang lahan di Bandung Timur dipilih sebagai lokasi pabrik sampah. "Prinsip kami, sesuai pernyataan Gubernur Jabar, konsep Pemkot Bandung tentang pabrik sampah, dilanjutkan. Program Great Bandung Waste Management Cooperation (GBWMC) tetap berjalan. Dua hal yang perlu diatur, bukan dipertentangkan," kata Dada. GURU Besar Lingkungan Hidup Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Dr. Oekan S. Abdullah, ("PR", 8 Mei 2006), mind set masyarakat sudah terpatri dengan sampah yang harus dibuang, bukan diolah. "Sampah bisa diselesaikan bila ada sinergi antara sumber dan pengolahan," ujarnya. Pengolahan di sumber berarti implementasi reduce, reuse, recycling (3R). Sementara pengolahan sampa, bisa diubah jadi energi listrik. Saat tumpukan sampah luar biasa banyak, semua pihak termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat ikut turun tangan. Setelah sampah tak lagi darurat, Meneg LH, Rahmat Witoelar pun mengapresiasi upaya Pemkot Bandung itu. "Saya optimis, persoalan sampah Kota Bandung bisa diselesaikan. Sebab, kita punya modal kebersamaan," ujar Dada. Namun, tugas yang lebih berat yaitu membentuk mind set masyarakat bahwa sampah merupakan persoalan bersama. Budaya membuang sampah perlu dihapus dan diubah menjadi budaya mengolah sampah dari sumbernya. Penegakan Perda No. 11/2005 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3) yang berlaku efektif November 2006, harus dilakukan secara komprehensif untuk menerapkan disiplin bagi warga Kota Bandung. Sikap Pemkot Bandung untuk membangun pabrik sampah juga harus konsisten. Kalau konsep itu bisa diterapkan dan berhasil, bukan tidak mungkin menjadi projek percontohan daerah lain dalam mengatasi permasalahan sampah. (Ririn Nur Febriani/"PR") Post Date : 18 September 2006 |