Kelangkaan air bersih memaksa sebagian rumah tangga di perkotaan menggeser pola konsumsinya. Membeli air minum dalam kemasan menjadi cara memenuhi kebutuhan air minum.
Berdasarkan data dunia, 6 persen ketersediaan air dunia ada di Indonesia. Namun, kesulitan akses air bersih cenderung berulang. Pertambahan penduduk, migrasi, dan kerusakan ekologi kawasan resapan air dan perubahan iklim menyebabkan merosotnya ketersediaan air bersih. Sementara, konsumsi air terus naik.
Kebutuhan air di perkotaan menjadi tema Hari Air Sedunia, yakni ”Air untuk Perkotaan: Menjawab Tantangan Perkotaan”. Organisasi Kesehatan Dunia menilai akses air bersih masyarakat Indonesia dalam jalur yang salah, tak sesuai target Tujuan Pembangunan Milenium.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, baru 36,6 persen penduduk Indonesia yang benar-benar bisa mengakses air bersih secara optimal, yakni minimal 100 liter per orang per hari. Secara nasional, penduduk yang kesulitan air bersih (di bawah 20 liter per orang sehari) jumlahnya berkurang dari 16,2 persen jadi 14 persen.
Namun, lima provinsi kondisinya berkebalikan, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Gorontalo, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah. DKI Jakarta— ibu kota negara—justru yang terparah. Pertambahan penduduk yang kekurangan air bersih (2007-2010) mencapai 11 persen. Ancaman penyakit akibat infeksi pencernaan, seperti diare, muntaber, tifus, dan kolera, kerap muncul.
Secara umum, pasokan air bersih rumah tangga di Indonesia masih mengandalkan sumber air tanah, baik yang terlindung maupun tidak. Kini, penggunaan air tanah cenderung menurun.
Air tanah
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2009, sekitar 70 persen warga masih mengandalkan air tanah. Namun, jumlah itu terus merosot. Pada periode yang sama, penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) dan air isi ulang naik tiga kali lipat, dari 4,1 persen menjadi 12,2 persen dari rumah tangga nasional (lihat grafik).
Berdasarkan jajak pendapat Kompas, 69,7 persen warga memilih air kemasan karena yakin kualitasnya lebih baik daripada air sumur atau dari perusahaan air minum (PAM). Alasan lain, kenyamanan. Sekitar 22,7 persen responden mengatakan, air kemasan praktis. Konsekuensinya, ada biaya bulanan.
Idealnya, melalui PAM, negara menyediakan fasilitas air bersih bagi warganya. Faktanya, proporsi pelanggan PAM terus merosot. Berdasarkan data Susenas (2005-2009), proporsi pelanggan PAM nasional—di luar pelanggan eceran—turun dari 17,99 persen ke 10,72 persen.
Fasilitas air bersih, terutama yang layak minum, sebenarnya tanggung jawab pemerintah. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, negara menjamin hak setiap orang mendapat air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari untuk memenuhi kehidupan sehat, bersih, dan produktif. Dalam Pasal 6 disebutkan, penguasaan sumber daya air oleh negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Faktanya, swastanisasi berbentuk perkembangan industri AMDK lebih pesat ketimbang fasilitas penyediaan air bersih oleh pemerintah. Tahun 2008, jumlah perusahaan air kemasan skala besar dan menengah 548 unit. Produksinya 12,8 miliar liter.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas, 78,1 persen warga mengonsumsi 1-10 galon air dalam kemasan setiap bulan. Artinya, industri AMDK jauh lebih berkembang ketimbang PAM.
Berkurangnya akses air bersih warga sebenarnya alarm kemerosotan kualitas konservasi lingkungan. Bersamaan dengan itu, negara kian abai menyediakan air bersih bagi warganya yang jelas-jelas dilindungi UU. Nila Kirana (Litbang Kompas)
Post Date : 22 Maret 2011
|