Saat Musibah Banjir Menjadi Rutinitas Penduduk

Sumber:Kompas - 25 Februari 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
JULAEHA (26) mengelus kepala anaknya yang berumur dua tahun. Sejak tadi, bocah itu menangis minta makanan. Waktu telah menunjukkan pukul 10.00, namun para warga korban banjir di posko pengungsian itu belum menerima bantuan makanan.

Rumah kontrakan mereka di RT 01 RW 14, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, terendam air hingga menyentuh langit-langit rumah, akibat luapan Sungai Citarum, Sabtu (19/2) pekan lalu.

Barang-barang milik Julaeha pun tak tertolong. Hanya sehelai pakaian yang melekat di tubuh yang kini dimilikinya. Begitu pula, pakaian anak-anaknya tak pernah lagi diganti sejak musibah banjir.

"Mau bagaimana lagi. Tak ada barang yang bisa diselamatkan. Yang penting, keluarga masih selamat," tutur Julaeha.

Julaeha tidak sendirian. Puluhan ribu warga di Kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah terpaksa mengungsi akibat banjir.

Sebagian dari mereka mengungsi di tenda-tenda dan masjid. Sebagian lainnya, mengungsi ke rumah sanak-saudara mereka.

Ketinggian banjir di dua kecamatan itu tercatat mencapai 2,5 meter. Hari Rabu (23/2) lalu, banjir sempat mereda. Sejumlah warga pun kembali ke rumah untuk membersihkan dan menata barang-barang milik mereka.

Tetapi, aktivitas itu tidak berlangsung lama. Hujan deras yang kembali mengguyur pada Rabu sore, menyebabkan air banjir kembali meninggi. Hingga pukul 21.00, ketinggian air di beberapa lokasi mencapai 2,5 meter.

Di RW 14 Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Dayeuhkolot, misalnya, air mencapai ketinggian 3 meter. Warga yang semula pulang ke rumah, akhirnya kembali ke tenda pengungsian.

>small 2small 0< kondisi tenda pengungsian memprihatinkan. Persediaan beras semakin menipis, dan air bersih tak lagi mencukupi kebutuhan para pengungsi. Beberapa petugas posko mengeluhkan minimnya cadangan air bersih di posko.

Menurut Dodi Ahmad, salah seorang staf Kelurahan Andir, persediaan beras di posko sudah habis. Demikian pula, pasokan air bersih nyaris habis.

Para pengungsi kini kesulitan air bersih untuk fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Lebih dari itu, tenda pengungsi sering kali bocor ketika hujan deras kembali turun. Para pengungsi terpaksa menyebar dan mencari tempat-tempat yang teduh, sambil menunggu hujan reda.

Demikian pula penyakit gatal-gatal, batuk, hingga pernapasan, menyerang sejumlah pengungsi. Data dari Kecamatan Dayeuhkolot menyebutkan, warga yang telah memeriksakan penyakit mereka melalui puskesmas keliling dan posko kesehatan berjumlah 1.000 orang.

Banjir bukanlah persoalan baru bagi warga di Kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah. Hampir setiap tahun, warga di kedua kecamatan ini mengalami musibah banjir akibat meluapnya Sungai Citarum, terutama saat curah hujan tinggi.

Kondisi serupa juga dialami warga di Kecamatan Rancasari dan Gedebage, Kota Bandung. Masyarakat di daerah tersebut mengeluhkan sering terjadinya musibah banjir.

Namun, menurut sejumlah warga, banjir kali ini tergolong paling besar dibandingkan dengan banjir pada tahun-tahun sebelumnya.

Apabila pada tahun-tahun sebelumnya banjir mencapai ketinggian maksimum sekitar satu meter, maka ketinggian banjir kali ini menjadi dua kali lipat.

Kepala Bidang Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat Dicky Saromi, mengakui, Sungai Citarum belum dipasangi sistem peringatan luapan air (flow out warning system). Akibatnya, tidak diketahui kapan air Sungai Citarum akan mengakibatkan bencana banjir.

Sedangkan hasil pengerukan endapan Sungai Citarum pada tahun 2000, tidak lagi bermanfaat karena pendangkalan sungai kembali terjadi.

Ekologi Lanskap dari Universitas Padjadjaran Bandung, Parikesit, menilai banjir rutin di kawasan sekitar Sungai Citarum seharusnya dapat diantisipasi apabila terdapat perencanaan yang matang oleh pemerintah.

Pengerukan Sungai Citarum, lanjutnya, seharusnya diikuti oleh penghijauan kawasan di sekitarnya. Penghijauan bermanfaat untuk memperkuat tanah, sehingga tanah tidak mudah terkikis dan menyebabkan pendangkalan sungai.

"Tanpa mengatasi faktor penyebab banjir akan sulit untuk mengurangi banjir, sekalipun pengerukan tanah terus dilakukan," katanya.

Di sisi lain, perlu dipikirkan upaya membebaskan lahan permukiman warga di daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Dengan demikian, korban akibat banjir setiap tahunnya dapat dikurangi.

Para pengungsi menyimpan kekhawatiran bahwa banjir akan melanda rumah mereka setiap kali hujan deras mengguyur wilayah mereka.

Bagi warga, banjir tidak hanya berdampak pada lumpuhnya aktivitas warga. Banjir juga mengakibatkan sejumlah warga kehilangan mata pencarian.

Di Kecamatan Baleendah, banjir telah merendam sedikitnya 435,5 hektar sawah. Di Kecamatan Dayeuhkolot, sawah yang terendam mencapai 25 hektar dengan usia tanam padi antara 7-10 hari.

Kepala Desa Citeureup Yuyus Gumelar menuturkan, banjir juga menyebabkan kerugian budidaya ikan mas pada lahan seluas 7 hektar di wilayahnya. Sementara itu, sejumlah 6 ton kacang hijau hasil panen ikut hancur akibat terendam banjir.

Menyaksikan air banjir yang demikian tinggi tahun ini, Julaeha pun tampak kebingungan. Barang dagangan asongan milik suaminya, telah hancur dan rusak akibat banjir.

Ia mengaku masih trauma dengan musibah banjir yang dirasakan dahsyat saat ini. "Saya tak menyangka, kalau banjir sekarang ini sangat besar. Barang dagangan suami rusak karena terendam. Saya tidak tahu harus bagaimana mengumpulkan modal untuk memulai lagi usaha dagangan," kata Julaeha.

Sejumlah warga mengharapkan, pemerintah memikirkan upaya yang tepat untuk mengurangi banjir di kawasan tersebut. Hal itu diperlukan agar banjir rutin di kawasan tersebut tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar.

"Pemerintah jangan setengah-setengah dalam mengatasi banjir. Pengerukan sungai tidak akan menyelesaikan masalah, kalau tidak didukung sosialisasi dan penghijauan di sekitar sungai," kata Agus, warga Kelurahan Dayeuhkolot. (BM Lukita Grahadyarini)

Post Date : 25 Februari 2005