AKSES terhadap air bersih belum dirasakan semua warga hingga kini. Data Bank Dunia tahun 2008 menunjukkan setidaknya 900 juta orang di dunia tidak memiliki akses a bersih dan 2,6 miliar tidak air memiliki m akses sanitasi. Sementara di Indonesia, I baru 50% rumah tangga yang y mendapatkan akses air bersih d sanitasi. Total populasi yang dan memiliki akses terhadap air bersih baru 40 juta jiwa.
Hal itu diperparah sambungan rumah tangga untuk pipa air yang baru berjumlah sekitar 8 juta, dengan masih adanya 62,65% Perusahaan Daerah Air Minum yang berada dalam kondisi kurang layak.
Padahal, menurut Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) Hamong Santono, akses terhadap air bersih dan sanitasi telah menjadi hak asasi manusia, sebagaimana tercetus dalam resolusi PBB 29 Juli 2010. Sayangnya, Indonesia sebagai salah satu dari 121 negara yang mendukung keputusan itu belum memiliki pengelolaan sumber daya air yang maksimal.
“Negara jadi penanggung jawab utama hak atas air. Dengan kondisi 58% populasi hidup di Jawa, yang memiliki 70-an daerah aliran sungai, yang 62 sampai 64-nya rusak, cuma 40 juta yang punya akses air bersih. Ini terjadi karena negara abai, tak pernah air menjadi prioritas pembangunan,“ tutur Hamong di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Indonesia mengambil porsi 6% persediaan air dunia atau 21% di kawasan Asia Pasifik. Sebelumnya, diperkirakan ada potensi surplus lebih dari 300 juta m3 air pada 2015. Namun kini sebagian besar wilayah di Jawa, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Timur mengalami defisit air bersih. “Akibat kekurangan akses atas air bersih, menurut WHO, Indonesia menjadi kontributor penyumbang angka diare kedua terbesar dunia,“ ungkap Hamong.
Hamong menilai program pemerintah sering kali tak berpihak pada rakyat. Alokasi bujet yang seadanya telah menjadi alibi pemerintah untuk melakukan privatisasi sumber daya air. “Kita sadar bahwa sebenarnya tanggung jawab ada di negara. Tapi, masyarakat juga acuh, mendua pada air. Satu sisi mengakui arti penting air, sisi lain berkontribusi pula pada rusaknya air.“
Adapun Menteri baru Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengakui ketersediaan air bersih menjadi masalah di daerah. Penyediaannya pun sering kali harus dibayar dengan harga cukup mahal.
“Konsumsi air bersih untuk 237 juta lebih penduduk Indonesia cenderung meningkat 15%-35% per kapita per tahun. Sementara ketersediaan air bersih berkurang akibat kerusakan alam dan pencemaran,“ kata Gusti.
Diperkirakan, kebutuhan air bersih terus meningkat hingga mencapai 70% pada 2025. “Kami mengimbau hematlah air. Air sebenarnya bisa dihemat, yang tidak perlu bisa dihentikan,“ saran Gusti.
Gusti menambahkan, dalam hal kuantitas, Indonesia sebenarnya memiliki banyak air, tapi kualitasnya masih minim. Pasalnya, banyak sungai yang tercemar dan sering banjir jika hujan deras.
Perbaikan ke depan, ujarnya, ialah melalui peningkatan tutupan lahan lewat penanaman kembali vegetasi. Hal ini dipandang dapat membuka peluang lebih besar agar air bisa masuk tanah dan menjadi pasokan air, serta mencegah air hujan langsung mengalir ke laut atau menyebabkan banjir.
Deputi MenLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono menambahkan, pemerintah pusat sudah memiliki kebijakan konservasi sumber daya air yang terkait dengan target pencapaian MDGs maupun program nasional lain.
Di antaranya, rencana aksi nasional perubahan iklim, yang telah dicanangkan sejak dua tahun lalu. Program ini dimunculkan karena permasalahan air berkaitan pula dengan isu perubahan iklim global.
“Permasalahan akses air bersih di kota besar seperti Jakarta juga terhambat oleh aplikasi dan penegakan peraturan perlindungan akses air bersih yang masih belum optimal. Regulasi yang keras tentang perlindungan air perlu diterbitkan dan dijalankan, termasuk dalam kasus privatisasi air,“ tegas Arief. ENI KARTINAH
Post Date : 16 Agustus 2011
|