Air bagi manusia adalah kebutuhan hidup yang mendasar. Sialnya, jika Anda tinggal di Jakarta, maka itu berarti Anda tinggal di wilayah dengan daya dukung lingkungan yang amat sangat terbatas.
Menurut data yang dilansir oleh Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, 97,8 persen air baku dan olahan yang beredar di ibu kota berasal dari luar wilayah. Bahkan, selain mahal, air yang sudah tersedia pun tidak terjamin kebersihan dan kesehatannya.
Sejak 1998, pengelolaan air di DKI Jakarta dikelola oleh dua mitra PAM Jaya, yaitu PT Palyja dan Aetra. Dan dalam 13 tahun itu, PAM Jaya ternyata masih punya banyak keluhan atas kinerja dua mitranya. Mulai dari pelanggan yang tak mendapat setitik pun air sampai ketidakadilan kontrak kerja yang membebankan kenaikan harga air pada PAM Jaya.
Dalam sebuah diskusi yang membahas 13 tahun privatisasi air di Jakarta, Kamis (30/6), Direktur Utama PAM Jaya Maurits mengatakan, dari sekitar 806.153 pelanggan yang dilayani oleh Palyja dan Aetra, ada sekitar 300 ribu pelanggan yang hanya mendapat kurang dari 10 meter kubik air per bulan. Malah ada pula yang nol meter kubik alias air di rumah mereka tidak mengalir. Itu berarti, ada sekitar 37,5 persen pelanggan yang mendapat air sangat minim atau malah tidak sama sekali.
Keluhan lain yang disampaikan oleh PAM Jaya adalah angka kebocoran yang tetap tinggi. Dari Aetra, tingkat kebocoran air mencapai 49 persen dan Palyja 42 persen per tahun. Total volume air yang bocor mencapai 245,4 juta meter kubik atau senilai Rp 1,7 triliun per tahun.
Tarif air Rp 7.188 per meter kubik yang ditetapkan sejak 2008 sudah tidak mungkin lagi dinaikkan. "Karena sudah terlalu mahal," kata Maurits. Dengan tarif setinggi itu pun, PAM Jaya masih mengalami defisit Rp 590 miliar — dan diperkirakan akan mencapai Rp 18,2 triliun pada 2022.
Kerugian ini kemudian harus ditanggung oleh PAM Jaya, padahal pengelolaan dilakukan oleh PT Palyja dan Aetra. Menurut Maurits, ini tidak adil. Lantaran PAM Jaya hanya pasif sementara mitranya yang mengelola, menyalurkan air.
"Mereka boleh menikmati keuntungan tapi tak mau menanggung kerugian," katanya.
Yang menarik lagi, sebelumnya PAM Jaya memiliki wewenang untuk memutus air jika pelanggan sudah tak membayar selama dua bulan. Sekarang malah ada 155.376 pelanggan yang menunggak antara 0-10 tahun tetapi air di rumah para penunggak ini tetap mengalir. Total kerugian dari tunggakan rekening ini pun sudah mencapai Rp 568 miliar. Dengan situasi ini, Maurits pun mempertanyakan kemampuan dua mitranya dalam menagih hutang dari para pelanggan.
Presiden Direktur PT Palyja Philippe Folliasson langsung merasa terhina dengan presentasi yang disampaikan PAM Jaya. "Ini diskusi hanya inisiatif pribadi, satu sisi dan bias. Niatannya hanya untuk menghina operator. Maaf, tapi tidak ada gunanya kami mempresentasikan pandangan kami jika sudah terhina seperti ini," kata dia.
Folliasson menambahkan lagi, "Jika PAM tidak senang dengan layanan kami, mereka selalu punya pilihan untuk membatalkan. Ini toh hanya kontrak layanan."
Presiden Direktur PT Aetra Mohamad Sellim menanggapi dengan lebih tenang. Ia menjanjikan pada Maurits bahwa dengan pemetaan yang mereka miliki sekarang, ia akan menyelesaikan masalah pelanggan yang tidak mendapatkan air sama sekali. Menurut Sellim, tingkat kebocoran air mereka yang 49 persen itu sudah membaik dari 57 persen saat masih ditangani PAM Jaya.
Tetapi, ekonom Hendri Saptarini mengatakan, masalah komunikasi antarpemerintah dan operator air di Jakarta baru terbuka kasus per kasus. Yang menjadi masalah utama adalah keseimbangan dan keadilan pada kontrak kerja. Masalahnya, tidak ada aturan terpadu dan komplet dalam melakukan kerjasama pengelolaan air. Sehingga yang terjadi sekarang adalah dua pihak yang saling menyalahkan.
"Seharusnya dengan investasi yang sedemikian besar, PAM Jaya tidak bisa berlanjut dengan beban utang dan kerugian yang terus membesar. Idealnya kerugian tidak bertambah dan beban utang bisa dikelola. Ketika ini tidak terjadi, berarti ada sesuatu yang salah," kata Hendri.
Badan Pemeriksa Keuangan sebenarnya selalu menemukan banyak keanehan keuangan, baik dari sisi PAM Jaya, Palyja maupun Aetra. Tetapi tidak pernah ada kejelasan penanganan keanehan temuan tersebut.
Menurut Hendri, masih banyak daerah lain di Indonesia yang belum memperoleh akses air dan pastinya akan mencontoh model kemitraan PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja. Saran Hendri, pola kontrak kerja mereka jangan ditiru. Isyana Artharini
Post Date : 04 Juli 2011
|