|
Bogor, Kompas - Aksi unjuk rasa menolak uji coba pengoperasian Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong di Kecamatan Kelapanunggal, Kabupaten Bogor, Senin (22/11), berubah menjadi rusuh. Dalam bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan yang diwarnai tembakan itu, lima pengunjuk rasa terkena tembakan dan harus dirawat di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Soal jumlah korban luka tembak itu memang ada dua versi. Menurut warga, jumlahnya tujuh orang, tetapi polisi hanya mengakui lima orang. Menyusul bentrokan tersebut, aparat Kepolisian Resor (Polres) Bogor dan Kepolisian Wilayah (Polwil) Bogor melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga dan menangkap 35 orang. Atas tindakan kekerasan dalam menangani pengunjuk rasa dan penyisiran itu, Senin malam sejumlah warga Bojong mengadu ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian Negara RI (Mabes Polri) di Jakarta. Kepala Pusat Provoost, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Brigjen (Pol) Raziman Tarigan langsung bertolak ke Bogor untuk menyelidiki dugaan pelanggaran oleh polisi terkait dengan penembakan terhadap pengunjuk rasa itu. Aksi penolakan warga sekitar terhadap TPST Bojong sebenarnya sudah berlangsung berkali- kali. Warga menilai kehadiran TPST yang mengolah sampah dari DKI Jakarta itu akan berdampak buruk terhadap lingkungan mereka. Apalagi pembangunan TPST itu juga dinilai menyalahi rencana umum tata ruang (RUTR) di kawasan tersebut yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman. Setiap kali akan dilakukan uji coba, warga selalu menolak dan menghadang truk-truk yang akan masuk ke TPST. Hari Sabtu lalu warga juga mengusir Kepala Polres Bogor yang akan memberikan sosialisasi atas rencana uji coba pengoperasian TPST pada hari Senin kemarin. Sejak Minggu petang mereka bahkan sudah berkumpul untuk menolak rencana uji coba tersebut. Hari Minggu pukul 20.00, warga mulai bergerak menebangi puluhan pohon di sepanjang Jalan Bojong dan menjadikannya sebagai barikade. Pemblokiran jalan menuju TPST tersebut juga dilakukan dengan meletakkan berbagai material berat di jalan ke arah TPST itu, seperti batu, reruntuhan tembok pagar berikut pagar besi/kawatnya, serta ban- ban bekas dan drum. "Hingga dini hari kami memasang penghalang jalan ini. Kami mendengar truk sampah sudah masuk TPST. Jadi kami terpaksa melakukan ini agar tidak kecolongan lagi," kata Ny Solihat (30). Kepada tiga anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang meninjau lokasi TPST pascabentrokan, Direktur Utama PT Wira Guna Sejahtera (pengelola sampah) Sofian Hadiwijaya mengakui bahwa kemarin memang direncanakan uji coba. Kontainer berisi sampah bahkan sudah menuju ke TPST, tetapi terpaksa diparkir di sekitar Taman Buah Mekarsari. Puncak bentrokan terjadi sekitar pukul 11.30 ketika sekitar 1.000 pengunjuk rasa yang semula berkerumun di gerbang TPST tiba-tiba menyerbu TPST dari berbagai arah. Pada saat bersamaan, di dalam areal TPST ada sekitar 450 orang, terdiri dari anggota staf, karyawan, anggota koperasi pemilah sampah (300 orang lebih), dan 19 personel polisi. "Kami sebetulnya sudah minta tambahan bantuan aparat keamanan dari Minggu malam, tetapi tidak juga datang. Pasukan baru datang setelah massa berhasil masuk dan membakar aset di sini," kata Sofian. Massa masuk dengan melompat pagar kompleks TPST sebelah barat. Orang-orang di dalam TPST mencoba menghalau, tetapi massa lainnya muncul dari bagian timur dan akhirnya pintu gerbang dapat dibuka massa yang sudah melengkapi dirinya dengan berbagai senjata, seperti kayu, batu, bom molotov, bambu, dan ada pula yang membawa senjata tajam. Warga yang marah kemudian membakar berbagai aset milik TPST serta enam mobil dan tiga motor yang berada di lokasi. Massa juga merusak empat mobil lainnya yang ada di lokasi, termasuk satu mobil patroli milik Polres Bogor. Dalam situasi kalut, polisi melepaskan tembakan dan gas air mata untuk menghalau massa, tetapi tidak berhasil. Polisi yang sudah kehabisan peluru dan gas air mata segera mengevakuasi Sofian, dengan membawanya meninggalkan lokasi ke arah belakang kompleks TPST, menyeberangi sebuah sungai. Aksi damai Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Slamet Daroyni yang mendampingi para pengunjuk rasa, semula warga hanya ingin melakukan aksi damai. "Tidak ada niat untuk bertindak anarki," katanya. Tindakan anarki baru terjadi setelah mereka melihat polisi dengan senjata laras panjang datang mengawal truk-truk sampah sekitar pukul 11.30. Setelah situasi terkendali, dan aparat kepolisian membersihkan badan Jalan Bojong dari material blokade, sejumlah pejabat mendatangi lokasi. Di antara mereka adalah Wakil Bupati Bogor Albert Pribadi, Ketua Komisi A DPRD Bogor Lalu Suryade, Komandan Komando Distrik Militer Bogor Lukas Rusdiono, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Selamat Limbong, dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Agusman Effendi. Menurut Albert Pribadi, pihaknya meminta agar aparat keamanan melaksanakan penegakan hukum dengan baik dan benar. Iang Saputra, Asisten Pembangunan Bupati Bogor, menambahkan, TPST Bojong memiliki izin yang sah untuk beroperasi. "Izin itu diberikan setelah melalui proses panjang, tidak asal beri," katanya. Menanggapi peristiwa itu, Lalu Suryade menilai peristiwa seperti itu tidak perlu terjadi jika Pemerintah Kabupaten Bogor mau meninjau kembali pemberian izin operasi TPST Bojong seperti yang direkomendasikan Komisi VII DPRD Kabupaten Bogor. "TPST Bojong menyalahi RUTR dan juga tidak memiliki amdal (analisis mengenai dampak lingkungan)," katanya. Rabu besok, katanya, akan ada pertemuan di DPRD Bogor untuk membahas kasus TPST Bojong. Agusman Effendi dari DPR mengatakan, lepas dari masalah RUTR, TPST Bojong merupakan suatu upaya mengatasi sampah yang ditunggu-tunggu. "Teknologi yang diterapkan TPST Bojong ini sebetulnya yang diimpi-impikan kita, di mana sampah dikelola dengan baik. Tidak seperti di Bantar Gebang," katanya. Secara terpisah, Selamat Limbong mengatakan, DKI Jakarta akan memanfaatkan TPST Bojong atau tidak bergantung pada pihak PT WGS dan Pemerintah Kabupaten Bogor. "Kalau di sini tidak bisa, kami sudah punya alternatif untuk membangun TPA pada tahun 2005, yakni di Duri Kosambi atau Marunda," tuturnya. Mengadu Senin malam, beberapa warga Bojong mengadu ke Bareskrim Polri di Jakarta. Mereka mengadukan kekerasan polisi dalam menangani unjuk rasa warga yang menolak TPST Bojong. Pengaduan warga diterima Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung. Ny Inik, salah seorang warga, mengisahkan, suaminya, Taing, ditangkap polisi pada Senin sore. "Polisi datang mencari-cari sambil berkata, Mana monyet-monyet itu?" ujarnya, dengan logat Sunda yang kental. Sambil mengatakan demikian, lanjut Ny Inik, polisi mencari-cari orang di kamar-kamar dengan memukul-mukulkan laras senjata ke pintu, sampai pintu-pintu rumah rusak. Selain pintu rusak karena berlubang, beberapa kaca di rumahnya pecah dan dapurnya pun berantakan. (rts/adp) Post Date : 23 November 2004 |