|
JAKARTA (Media): Bencana banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Indonesia belakangan ini terjadi lebih karena adanya kerusakan ekologis dibanding akibat bencana alam. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting mengatakan hal tersebut kepada Media di Jakarta, akhir pekan lalu. Ginting mensinyalir hal tersebut dari beberapa peristiwa yang terjadi di beberapa tempat, baik Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. ''Sebelumnya di beberapa tempat tidak pernah mengalami kebanjiran, seperti Kalimantan, Sumatra Selatan, Kerinci, atau Aceh. Ini menunjukkan adanya perubahan yang terlalu besar. Dan ini bencana ekologis, bukan lagi bencana alam,'' jelasnya. Menurut Ginting, apabila mendasarkan pada adanya cuaca ekstrem yang terjadi, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai parameter. Sebab, cuaca ekstrem sudah terjadi di Indonesia sejak dulu. Kerusakan ekologi tersebut, tambahnya, sudah terjadi pada hampir seluruh wilayah Indonesia dan berpotensi meluas secara cepat ke wilayah lain, seperti Papua dan juga pulau-pulau kecil. Berdasarkan data-data curah hujan atau topografi menunjukkan daerah-daerah yang berpeluang menjadi rusak sangat banyak apabila tidak ada perubahan kebijakan yang berarti. Karena itu, Ginting mengharapkan adanya evaluasi secara total pada daerah-daerah kritis. Karena, menurut dia, kondisinya sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. ''Seperti di Pacet, Jawa Timur, yang sebelumnya mempunyai lereng yang 45% hutan ladang. Tapi setelah dijadikan sebagai kebun kayu (pinus) terjadi banjir bandang.'' Ginting kemudian membandingkan luas Pulau Jawa yang kurang dari 7% wilayah daratan Indonesia, namun penduduknya mencapai separuh jumlah penduduk Indonesia. Hal tersebut dapat diartikan, beban Pulau Jawa berat dalam ekologi dan lingkungan. ''Pulau Jawa dalam kondisi hampir tidak ada hutan karena seperempatnya hanya ditanam hutan monokultur.'' Pengelolaan Pulau Jawa yang seperti ini, jelas dia, membuat pulau terbesar kelima di Indonesia ini menjadi riskan dan tidak ramah terhadap ekologi. Karena itu, lanjut Ginting, bencana ekologis yang terjadi di Jawa hanya dapat dilakukan melalui pemulihan ekologi. Yaitu, dengan cara meningkatkan keanekaragaman jenis tanaman hutan dan tidak hanya berorientasi kepada industri kayu. ''Sebanyak 2,5 juta hektare hutan monokultur di Jawa harus dihentikan, dan pengelolaan yang efektif seharusnya hutan monokultur sudah tidak ada,'' ujarnya. Sementara untuk pulau-pulau lainnya, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, menurut Ginting, harus dilakukan moratorium penebangan karena telah menyebabkan kerusakan yang sangat berat. ''Dalam satu menit sebanyak 7,2 hektare hutan kita telah hilang apabila tidak dilakukan moratorium penebangan,'' tegas Ginting. Ia menilai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dilakukan pemerintah tidak efektif. Sebab, kerusakan hutan telah mencapai 3,8 juta hektare. Mengenai curah hujan dengan skala besar yang terjadi belakangan ini, menurut dia, dapat terjadi hingga akhir Februari 2004. Dan setelah musim penghujan selesai akan terjadi musim kemarau yang lebih parah daripada 2003. Sementara itu, juru kampanye Sekretariat Kerja Sama untuk Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) Hasjrul Junaid belum dapat memastikan apakah penyebab bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi belakangan ini karena bencana alam atau kerusakan ekologi. Namun, walaupun masih menjadi perdebatan, ia memastikan bahwa bencana banjir yang terjadi di Bahorok, Sumatra Utara, tahun lalu karena memang unsur alam. Secara umum, ia menilai bencana yang terjadi belakangan ini lebih kepada kebijakan pemerintah yang tidak secara serius mengantisipasi hal tersebut. Menurut dia, dalam skala nasional harus ada koordinasi yang sistematis antara pemerintah dengan instansi-instansi yang memiliki kemampuan dalam masalah perkembangan lahan, cuaca, dan tingkah laku manusia yang membuka lahan dan menyebabkan terjadinya longsor. ''Kalau di China, gubernur bisa dicopot apabila terjadi bencana. Tapi di sini malah tenang-tenang saja dan hanya memberi sumbangan,'' tegasnya. (Nuz/V-2) Post Date : 09 Februari 2004 |