Rumitnya Kelola Sampah

Sumber:Kompas - 05 November 2007
Kategori:Sampah Jakarta
Apabila sampah yang dihasilkan warga Jakarta ditumpuk di taman Monumen Nasional luasnya 110 hektardalam waktu 40 hari taman itu akan lenyap di bawah tumpukan sampah setinggi satu meter.

Sampah, alias barang buangan yang tak diperlukan lagi, menjadi penting manakala ia membawa masalah bagi sebuah kota.

Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta mencatat, setiap orang di Ibu Kota kini rata-rata menghasilkan 2,97 liter sampah per hari. Dengan penduduk sekitar 12 juta jiwatermasuk pelajutimbulan sampah yang harus dibuang setiap hari dari lima wilayah kota ini mencapai 26.945 m3 atau sekitar 6.000 ton. Pada tahun 2010, timbulan sampah per hari diperkirakan mencapai 6.337 ton, dan menjadi 6.678 ton pada tahun 2015.

Timbulan sampah terbanyak berasal dari permukiman. Itu berarti "produsen" sampah terbesar adalah rumah tangga. Angkanya per hari 15.628 m3, lebih dari separuh atau 58 persen sampah yang dihasilkan warga Jakarta. Lebih dari separuh (55,37 persen) berupa sampah organik, yang volumenya mencapai 14.919 m3.

Sisanya, 12.026 m3 (44,63 persen), adalah sampah anorganik seperti kertas, plastik, kayu, kain, dan karet. Untuk mengurus sampah ini, hingga Agustus lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerima retribusi Rp 5,7 miliar. Jumlah ini baru 65,28 persen dari target penerimaan 2007 yang sebesar Rp 8,7 miliar.

Salah satu persoalan dalam membersihkan Jakarta dari sampah adalah kekurangan alat angkut. Truk sampah yang ada di Ibu Kota kini hanya 1.097 unit. Yang merupakan milik Dinas Kebersihan DKI Jakarta sendiri hanya 774 truk. Sisanya, truk perusahaan swasta yang dioperasikan lewat swastanisasi kebersihan (165 unit), truk milik PD Pasar Jaya (58 unit), dan truk sewa (100 unit).

Dengan daya angkut 20,9 m3 per hari per kendaraan, sebetulnya untuk membuang sampah yang ada sekarang truk yang dibutuhkan 1.278 unit. Jadi, ada kekurangan 181 unit.

Kekurangan truk inilah yang membuat tidak terangkutnya 427 m3 sampah setiap hari, dan dari hari ke hari terus bertambah. Padahal sampah bersifat stasioner. Apabila menumpuk di suatu tempat, sampah akan tetap berada di situ.

Selain kotor serta menimbulkan perasaan jijik, sampah organik yang membusuk menimbulkan bau yang mencemari udara dan air. Bahkan sampah dapat menjadi sumber penyakit, dan bagi sebuah kota, juga akan merusak citra.

Sampah yang tidak terangkut, buruknya disiplin warga kota, dan belum adanya pola jitu penanganan sampah membuat visi Dinas Kebersihan DKI"menjadikan Jakarta bersih, sebersih ibu kota negara yang telah maju"belum kunjung tercapai, walaupun dinas ini sudah menggandeng 22 perusahaan swasta untuk menjaga kebersihan Jakarta.

Kini perusahaan swasta baru dapat mengurus kebersihan 28 dari 267 kelurahan di DKI Jakarta. Dengan mengoperasikan 119 truk besar, 42 truk kecil, dan 17 kendaraan lintas, semua perusahaan itu mengerahkan tukang sapu untuk membersihkan jalan sepanjang 1.058 kilometer, meliputi area seluas 6,4 juta m3. Volume sampah jalan yang dapat diangkut hanya 912 m3 per hari.

Pola pendekatan

Pengelolaan sampah di DKI Jakarta hingga kini masih menggunakan pendekatan end of pipe solution. Pendekatan ini menitikberatkan pengelolaan sampah ketika sampah itu telah dihasilkan, yakni berupa kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir.

Sebetulnya, beban Pemprov DKI Jakarta dalam menangani sampah bisa dikurangi jika warga diwajibkan dan diberdayakan untuk mengelola sampah yang mereka hasilkan sendiri.

Sekarang baru 20 kelurahan di Jakarta yang mengelola sendiri sampahnya dengan sistem 3R: reduce (mengurangi), reuse (memanfaatkan kembali), dan recycle (mendaur ulang).

Namun, sistem ini memerlukan kesadaran warga bahwa demi kebersihan dan kesehatan lingkungan, sampah tidak hanya sekadar dibuang, tetapi harus dikelola. Dengan demikian, sampah itu tidak menjadi masalah. (Julianery/Litbang Kompas)



Post Date : 05 November 2007