|
Bandung, Kompas - Sejumlah rumah warga yang daerahnya dilintasi proyek tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang terendam banjir, Sabtu (11/12). Rumah-rumah yang terendam banjir itu terletak di Desa Ciptagumati dan Desa Cikalong, Kabupaten Bandung. Kepala Desa Ciptagumati, Oo Komarudin, Minggu (12/12) mengatakan, ada sembilan rumah yang terkena banjir. Akibatnya, berbagai perabotan rumah milik warga seperti kasur, kursi, lemari, dan alat-alat masak lainnya menjadi rusak. Selain itu, banjir telah merusak peralatan elektronik seperti televisi, radio, kulkas, dan mesin cuci. Sebuah jalan yang menghubungkan kampung Gudang dan Cigintung di Desa Ciptagumati dengan jalan raya, juga tidak dapat dilalui kendaraan akibat banjir. Jalan yang penuh lumpur dan genangan air itu tampak sedang dibenahi oleh traktor pengangkut tanah. Komarudin mengatakan, sebanyak 26 tukang ojek dan lima supir angkot tidak dapat mencari nafkah karena jalan terkena banjir. Pada saat terjadi banjir, setiap tukang ojek kehilangan penghasilan sebesar Rp 50.000 sedangkan supir angkot kehilangan penghasilan sekitar Rp 150.000. Warga yang kehilangan penghasilan itu, menurut Komarudin, akan menuntut ganti rugi kepada PT Jasa Marga. "Katanya jalan itu mau ditambah batu oleh kontrkator supaya bisa dilewati. Tapi sampai sekarang belum dilakukan," kata Komarudin. Air banjir surutnya menjadi lama karena saluran air yang terlalu sempit. Saluran air tersebut dibuat oleh kontraktor untuk membelokkan sungai yang ada di Desa Ciptagumati. Saluran tersebut, menurut Komarudin, tidak dapat menampung seluruh air hujan yang turun sehingga terjadi banjir. Mengalami kerugian Kepala Desa Cikalong, Ahmad Kohin mengatakan, ada dua rumah warganya yang kebanjiran. Selain itu, sejumlah warga juga mengalami kerugian karena sawah dan kolamnya terendam banjir. Bahkan, lanjut Ahmad Kohin, ada seorang petani yang sawah dan kolamnya terendam banjir hingga mengalami kerugian sebesar Rp 10 juta. Sama halnya dengan warga Desa Ciptagumati, warga Desa Cikalong juga berencana meminta ganti rugi kepada PT Jasa Marga. Salah seorang warga Kampung Gudang, Desa Ciptagumati yang rumahnya terendam, Endang Anim (49) mengatakan, banjir tersebut membuat warungnya terkena banjir. Akibatnya, minyak tanah, beras, garam, dan barang kebutuhan sehari-hari yang ada dalam warung tersebut rusak. Ketika banjir menyerbu rumah Endang, sebuah pompa air yang tidak sempat diselamatkan juga rusak karena korsleting. Warga Kampung Gudang, menurut Endang, sebenarnya pernah melakukan unjuk rasa sekitar bulan Oktober 2004 agar kontraktor membuat saluran air yang lebih lebar, namun hingga saat ini belum direalisasikan. Menurut Endang, bila kontraktor tidak sanggup menangani masalah banjir, sebaiknya rumah-rumah warga dibebaskan saja. Sebelum proyek tol Cipularang melintasi Kampung Gudang, masalah banjir tidak pernah dialami warga karena daerah aliran sungai yang cukup lebar. Dengan adanya proyek tol Cipularang, "Saluran air sering tertutup batang pohon, sampah, dan plastik. Jadi saluran air juga sering mampat," kata Endang. Hujan deras yang disertai angin pada hari Sabtu pekan lalu, menurut Endang, turun sekitar pukul 12.00 sampai pukul 17.30. Rumah Endang mulai kebanjiran pukul 16.00 dengan ketinggian air mencapai 30 sentimeter dan baru surut pukul 18.00. Kepala Humas PT Jasa Marga, Zuhdi Saragih mengakui, efek samping pembangunan jalan tol Cipularang seperti yang dialami warga Cikalong dan Ciptagumati memang tidak bisa dihindari. Walaupun demikian, pihaknya akan memberi ganti rugi bila terbukti ada warga yang dirugikan akibat proyek tersebut. Besarnya ganti rugi, lanjut Zuhdi, tergantung dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak PT Jasa Marga di masing-masing wilayah. Zuhdi mengatakan, proses pemberian ganti rugi untuk sawah atau kolam yang terendam serta rumah yang retak tidak akan lama. "Tapi kita harus lihat dulu, keretakan rumah itu memang disebabkan oleh pembangunan jalan tol atau karena dari dulu memang sudah retak," kata Zuhdi. Hal ini, menurut Zuhdi, berbeda dengan rumah-rumah dan lahan di pinggir jalan tol yang menurut rencana akan dibebaskan. Mengenai besarnya biaya pembebasan lahan, Zuhdi mengatakan, saat ini sedang dibahas karena kesepakatan harga dengan warga yang rumahnya akan digusur belum tuntas. Ketidaksepakatan itu terjadi karena warga menuntut biaya pembebasan tanah sebesar Rp 200.000 per meter persegi, sementara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan tersebut hanya Rp 15.000 per meter persegi. Zuhdi mengatakan, pembebasan lahan dan rumah tersebut ditangani langsung oleh Departemen Pekerjaan Umum (PU). Baik Komarudin maupun Ahmad Kohin mengharapkan PT Jasa Marga mau membangun gorong-gorong yang lebih besar di saluran air desa mereka. Sebab, gorong-gorong yang digunakan saat ini dinilai terlalu kecil. (J15) Post Date : 13 Desember 2004 |