|
BANJIR yang mendera setiap tahun bagi warga bantaran kali bisa menjadi bahan obrolan ringan dan lelucon tersendiri. Bahkan, warga bisa menceritakan dengan tertawa bagaimana kursi dan lemari terapung di atas air. Bencana itu telah menjadi satu bagian tersendiri dalam 365 hari kehidupan mereka setiap tahunnya. "Belum dua meter kan? Ah, biasa itu," kata Sofi, warga Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Ariah (55), warga RT 14 RW 03 Kampung Melayu, Jakarta Timur, juga terlihat tabah ketika menceritakan peristiwa Minggu pagi kemarin saat air kembali menggenangi rumahnya. "Saya sudah mengungsi sejak Selasa (18/1) di sini, di halaman SMP Santa Maria. Sabtu, katanya air sudah turun. Orang-orang masih tidur di sini, tapi saya tidak tahan ingin pulang. Saya lalu membersihkan rumah. Lumpurnya saya buang. Meja dan kursi saya jemur," paparnya. Minggu dini hari, Ariah tidak mengetahui jika ketinggian air di pintu air Depok naik lagi, dari 130 cm berangsur menjadi 240 cm. Kalau sudah begitu, enam jam kemudian dipastikan Sungai Ciliwung yang melintasi daerah Kampung Melayu dan sekitarnya meluap. "Pagi-pagi saya sedang mencuci, e... lha kok air makin deras. Lama-lama masuk rumah. Saya pikir, paling sedikit saja. Tapi kok terus naik. Ya sudah, saya lalu ambil tikar dan balik lagi ke sini (pengungsian)," kata Ariah. Apa yang dialami Ariah itu juga dialami warga lain yang sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah. Begitu air surut, mereka pulang ke rumah dan mulai bersih-bersih. Kursi dijemur, barang-barang elektronik dibawa pulang atau diturunkan dari lantai dua. Ketika banjir datang lagi, warga pun buru-buru mengungsi lagi. Sebenarnya, Lurah Kampung Melayu Lutfi Kamal sudah cepat memberi informasi ke anak buahnya. "Begitu di Depok (air) naik, saya langsung kontak RW-RW. Kan masih ada waktu beberapa jam untuk mengungsi dan menyelamatkan barang," ujarnya. Cerita lain dialami Safiah (50), warga RT 13 RW 03, Kampung Melayu. Dia memang sengaja mengungsi di rumah kerabatnya di Pondok Gede, Bekasi, karena tidak tahan melihat penuh sesaknya lokasi penampungan. "Katanya, Sabtu, air sudah turun. Biasanya kan banjir tidak datang terus-menerus. Saya lalu pulang Minggu ini. E..., rumah saya sudah kemasukan air lagi," ujarnya. Safiah mengaku belum memutuskan apakah akan tinggal di tempat pengungsian saja atau kembali ke Pondok Gede. "Soalnya, dada saya sesak dan sakit, sulit bernapas. Saya juga capai sekali. Saya mau minta balsem saja dan tiduran di sini," tuturnya. Suherman (37) adalah warga lain yang terlambat menyelamatkan barang berharga miliknya, seperti buku nikah, bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan, serta surat lain yang dijadikan satu dalam sebuah tas kulit. Di dalam tas itu juga ada ijazah sekolah menengah pertama milik anaknya, Yasin, yang kini sudah bersekolah di sekolah menengah ekonomi tingkat atas. "Buku rapor saya juga ikut basah," ujar Yuliani, putri Suherman yang masih di kelas VI sekolah dasar. Menurut Suherman, Minggu kemarin dia memang sudah pulang ke rumah. Dia tidak menyangka jika banjir akan datang lagi dan air akan kembali masuk ke rumah. Waktu air meninggi, dia terlupa jika tas berisi ijazah itu telah pula dibawa pulang. "Ya terpaksa dijemur begini. Ini kan surat berharga, jadi jangan sampai hanyut," kata Iyem, istrinya. MESKI warga sudah terbiasa dengan luapan air sungai, tetap terselip rasa cemas akan berulangnya bencana yang sama, tetapi dalam jumlah yang lebih besar, seperti pada Februari 2002. Pemimpin Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisedane Departemen Pekerjaan Umum Bambang Sutjipto Yuwono mengatakan, Sungai Ciliwung memang harus ditangani secara tersendiri. Banjir Kanal Timur (BKT) yang saat ini sedang dalam proses pembebasan dan penggalian lahan memang akan menjadi pengendali banjir. Namun, BKT "hanya" menyodet lima kali, yaitu Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. "Selain membuat satu terowongan lagi di pintu air Manggarai, kami juga akan membangun waduk di Ciawi bekerja sama dengan Pemprov DKI. Waduk ini akan menjadi sangat strategis bagi pengendalian Sungai Ciliwung," katanya. Studi kelayakan waduk Ciawi sudah selesai sejak awal tahun 2004, tetapi mengapa sampai sekarang belum jelas kelanjutannya? Apakah ada anggaran di tahun 2005 ini? "Kadang-kadang, meskipun ada anggaran, program juga belum tentu bisa berjalan. Waduk ini menyangkut pembebasan lahan yang melibatkan warga," ujar Bambang. Pakar masalah banjir dan tata air, Abdoel Raoef Soehoed, dalam bukunya, Membenahi Tata Air Jabotabek, menulis, konsep banjir disusun pada tahun 1872 lewat pemikiran pakarnya, H van Breen, yaitu membangun terusan Banjir Krukut yang merupakan bagian hilir Banjir Kanal Barat. Kali Krukut mula-mula dipandang sebagai penyebab utama banjir di Jakarta, tetapi ternyata Sungai Ciliwung, Kali Cideng, dan kali-kali di sebelah timurnya juga bermasalah. "Gagasan terakhir Van Breen adalah membangun satu penangkal utama berupa Ciliwung floodway, yaitu suatu sodetan dari Sungai Ciliwung ke Kali Cisadane," tulis Soehoed. Bambang mengatakan, rencana penyodetan dua kali besar itu memang terus menerus tertunda hingga saat ini. Lalu, kapan warga Jakarta terbebas dari banjir? (IVV) Post Date : 24 Januari 2005 |