Riwayatmu Kini...

Sumber:Kompas - 2 November 2004
Kategori:Drainase
"Terpesona aku melihat wajahnya tatkala aku duduk di dekatnya.Sebiduk bersama kami menyeberang, berperahu sepanjang Sungai Musi...."

BEGITULAH penggalan lirik dalam lagu Sebiduk di Sungai Musi. Meskipun tidak serta-merta mengangkat hikayat sungai itu sebagaimana Bengawan Solo, lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi bernama Alfian di seputar tahun 1960-an itu cukup dikenal oleh masyarakat Palembang. Minimal, ingatan mereka akan tergugah atas kenangan dengan sungai yang membelah kota menjadi wilayah Seberang Ulu dan Seberang Ilir itu.

Musi telah menjadi urat nadi kehidupan manusia yang tinggal di sepanjang alirannya selama ratusan tahun. Sungai Musi membentang sepanjang 460 kilometer dari mata air yang bersumber di daerah Kepahiang, Bengkulu. Musi merupakan muara sembilan anak sungai besar, yaitu Sungai Komering, Rawas, Batanghari, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Semangus, dan Ogan. Sejak masa Kerajaan Sriwijaya, sungai ini sudah menjadi sarana transportasi utama yang menghubungkan daerah pedalaman sampai ke perairan Selat Bangka.

Jika dulu hanya sampan kayu dan kapal-kapal pinisi yang melayari Sungai Musi, sekarang beragam jenis kapal melewati alur pelayaran sungai tersebut. Sampan ketek yang digunakan warga untuk menyeberangi kolong sungai, speed kayu yang melaju cepat menuju daerah pedalaman, hingga ke kapal tanker raksasa pengangkut minyak mentah dan pupuk.

Telah beratus tahun pula sungai ini menjadi sumber mata air utama untuk keperluan hidup. Melihat warga yang tinggal di rumah-rumah panggung yang ada di tepi sungai untuk mencuci, mandi, dan gosok gigi dengan air sungai merupakan pemandangan yang lazim dijumpai sampai hari ini.

Namun, Musi tidak hanya menghadirkan cerita indah seperti yang terdapat dalam lirik lagu. Jika ditelusuri dari hulu sampai ke hilirnya, akan terlihat "borok-borok" sungai tersebut."Sungai Musi terdiri atas segmen hulu, tengah, dan hilir. Masing-masing menghadapi ancaman yang akan menurunkan daya dukung lingkungannya," kata Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumatera Selatan (Sumsel) Hadenli Ugihan.

Daerah hulu sungai menghadapi ancaman penggundulan hutan dan erosi. "Sedimentasi yang terjadi di hilir Musi merupakan akibat penggundulan hutan di hulunya. Akibatnya, dasar Sungai Musi menjadi dangkal sehingga ikut menimbulkan banjir," ujar Hadenli.Di daerah tengah, aktivitas pertambangan dan perkebunan mulai menyumbangkan limbah ke badan anak-anak Sungai Musi. Sedangkan di daerah hilir industri-industri besar yang berpotensi mencemari sungai semakin memadati kawasan tepian sungai.

DI Kota Palembang, tekanan oleh industri itu akan terlihat jelas jika kita menyusuri Musi dari daerah Pulo Kerto di hulu Palembang sampai ke daerah Pulau Salah Nama di bagian hilir. Setidaknya ada 86 industri besar yang berpotensi mencemari badan perairan dengan limbah yang dihasilkan.

Industri-industri tersebut antara lain industri pengolahan karet (crumb rubber) seperti PT Muara Kelingi dan Hoktong, pabrik pupuk milik PT Pupuk Sriwijaya, serta pengolahan minyak Pertamina.Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, keberadaan industri-industri berat itu menjadi salah satu sumber pencemaran yang sangat serius. Meskipun semua industri berdalih telah memiliki sistem pengolahan limbah, investigasi Walhi pada tahun 2001 menunjukkan temuan pipa pembuangan limbah siluman dari dalam lingkungan pabrik PT Pusri."Setiap kali ada limbah cair yang keluar dari situ menyebabkan ikan-ikan di sekitarnya mati," ujar Soleh, warga Kelurahan 3 Ilir, Palembang.Peristiwa itu sempat membuat panik warga yang tinggal di sekitar lingkungan pabrik. Namun, setelah tim dari Bapedalda Kota Palembang turun ke lokasi, dinyatakan tidak ada pencemaran. Bapedalda juga menyatakan bahwa apa yang disebut pipa siluman itu sebenarnya tidak ada.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Aidil Fitri mengatakan, pipa-pipa tersebut memang tidak dilaporkan sebagai pipa pembuangan limbah. "Pipa-pipa tersebut disamarkan dalam saluran pembuangan air dan pipa pengisap pasir," kata Aidil.

Satu kasus dugaan pencemaran lingkungan pun terabaikan. Selang dua tahun kemudian, Juli 2003, kembali terjadi kasus pencemaran yang serius. Kecelakaan kapal mengakibatkan tumpahnya 363 kiloliter bahan bakar diesel. Tumpahan minyak itu membuat sengsara warga di tepian Musi. Karena lambannya penanganan, tumpahan minyak mengalir sampai radius lima kilometer.Dengan beban limbah yang terus memasuki perairan Musi, kondisi Sungai Musi saat ini dinyatakan masih memenuhi standar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum. "Di sejumlah titik pencemaran sungai memang terjadi, tetapi secara keseluruhan nilainya masih di bawah ambang batas yang diizinkan," ujar Hadenli.

APABILA diibaratkan sebagai sebuah sistem yang hidup, ekosistem Sungai Musi memiliki kemampuan purifikasi, yaitu proses pembersihan secara alami. Namun, proses ini hanya bisa berjalan normal jika limbah yang dibuang masih bisa dipecah oleh jasad renik yang ada di sungai.Sebagai sebuah sistem, sungai ini pun memiliki keterbatasan. Ia akan memberi tanda jika sudah tidak sanggup menanggung beban pencemaran yang masuk. "Itulah yang antara lain kita lihat dengan matinya ikan, artinya kondisi di badan perairan sudah tidak memungkinkan bagi organisme untuk hidup normal," katanya.

Pertanda sejelas apalagi yang dibutuhkan untuk menyadarkan ancaman yang dihadapi oleh Sungai Musi? Karena ketika pohon terakhir telah tumbang ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, dan tetes air sungai terakhir telah teracuni, baru kita sadar, uang di tangan tidak dapat dimakan.... (DOTY DAMAYANTI)

Post Date : 02 November 2004