|
Suhu panas Kota Surabaya yang rata-rata 30 derajat Celsius harus berhadapan dengan hijaunya pepohonan. Meski sekitar 102.000 pohon yang ditanam belum ideal untuk menyuplai oksigen lima juta warga kota pada siang hari itu, kerindangannya tak bisa diabaikan. Sebelumnya, orang dengan mudah menemukan tumpukan sampah di sudut-sudut Surabaya. Hampir setiap hari ada saja protes dari tiga juta orang warga Surabaya pada malam hari tentang kekumuhan kota itu. Protes kepada Pemerintah Kota Surabaya muncul lewat surat pembaca di koran atau disiarkan langsung dari stasiun radio. Intinya, warga menganggap Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya tak becus mengurus sampah dan ruang terbuka hijau. Instansi yang dikomandani Tri Rismaharini itu menjadi sasaran kekesalan warga. "Telepon saya tak pernah berhenti berdering. Saya hanya mendengarkan umpatan orang soal sampah," kata Risma, sapaannya. Padahal, begitu dia ditunjuk sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada 25 November 2005, ibu dua anak ini nyaris tak pernah istirahat. Gerakan membersihkan sekaligus mempercantik kota tak henti digalakkan. Tahap pertama, dia menunjuk warga sebagai petugas jogo kali (penjaga sungai). Kelompok ini menjaga sungai agar warga Surabaya tak membuang sampah ke sungai. Bersamaan dengan program itu, Risma memasang spanduk bertuliskan bahasa Jawa dan Madura. Isinya mengajak orang tidak membuang sampah sembarangan. Spanduk dipasang di kawasan pasar dan pinggiran jalan yang selama ini dipenuhi tumpukan sampah. Gerakan ini sempat diprotes pedagang. Namun, Risma tak mau "kecolongan". Untuk itu, setiap hari tak kurang dari empat kali dia mengitari wilayah kota. Sepanjang perjalanan, jika melihat selembar kertas atau seutas tali di pohon, handy talky (HT) yang terpasang di mobil dinasnya langsung disambar. "Pak, pinjam jalur. Di perempatan Kertajaya ada plastik dan seutas tali, segera ambil," ucap Risma lewat HT. Petugas yang juga menggunakan HT segera menyahut," Siap Bu." Cara kerja Risma itu menuntut para petugasterutama yang memegang HTseakan harus siap bekerja 24 jam. Pasalnya, garapan mereka tak hanya membersihkan sampah, tetapi juga memperbaiki taman yang rusak dan penerangan jalan umum (PJU) putus atau hilang. "Saya tak mau menunda pekerjaan. Kalau ada laporan lampu PJU di satu titik padam, pukul 24.00 pun saya kontak petugas," ujar Risma yang mobilnya dipenuhi perlengkapan kerja, seperti tas, sepatu, topi, sapu, gunting, dan caping. Hasilnya? Volume sampah Surabaya berkurang. Tahun 2004 volume sampah mencapai 264.000 meter kubik per bulan, pada tahun 2005 menjadi 261.000 meter kubik, tahun 2006 volume sampah tinggal 161.000 meter kubik per bulan, dan sekitar 160.000 meter kubik langsung terangkut ke tempat penampungan akhir (TPA). Sisanya diolah warga serta dinas kebersihan dan pertamanan menjadi kompos. Sempat tersendat Sikap tegas dan terbuka Risma sempat membuat kariernya tersendat. Perempuan yang menjadi pegawai negeri sipil sejak tahun 1990 itu "tiba-tiba" diganti saat menduduki jabatan sebagai Kepala Bagian Bina Bangunan Pemkot Surabaya, Mei 2002. Kebijakan tersebut, konon, terkait program "pemerintahan bersih" yang ia rintis kemudian diterapkan di lingkungan Pemkot Surabaya. Ketika itu anak ketiga dari lima bersaudara ini menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah atau electronic procument service (E-Proc). Program berbasis internet itu bertujuan mempermudah sekaligus menjamin transparansi lelang tender pengadaan barang dan jasa. E-Proc, kata Risma, adalah implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Lewat sistem E-Proc yang mendapat sertifikat ISO itu, lelang tender lebih transparan, efektif, dan efisien. Kemungkinan kerugian negara pun dapat ditekan seminim mungkin. Sebelum E-Proc, perempuan yang suka bicara berapi-api ini juga membuat sistem E-Budgeting. Sistem aplikasi ini membantu dinas dan tim anggaran dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis kinerja. Dia juga menerapkan E-Controlling, sistem aplikasi lanjutan E-Budgeting. Maka, setelah APBD disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, otomatis seluruh kegiatan proyek dapat dipantau secara detail lewat internet. Jadi, semua program yang diterapkannya selama dua tahun sebagai Kepala Bagian Bina Bangunan dimaksudkan untuk menekan adanya unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam lelang proyek di lingkungan Pemkot Surabaya. Tidak kompromi Sikap Risma yang tak kenal kompromi diberlakukannya kepada atasan, bawahan, ataupun mitra instansi. Hampir 80 persen penyapuan jalan serta angkutan sampah ke TPA ditangani swasta. Penyapuan di jalanan pada pukul 05.00-14.00 oleh pasukan kuning merupakan tanggung jawab swasta. Penyapu jalan juga wajib membersihkan air sehingga air tak tergenang di badan jalan, tetapi langsung masuk saluran. "Jika ditemukan ada tumpukan sampah pada jam tersebut, perusahaannya dikenakan denda. Sanksinya tegas, agar mereka bekerja baik," ucap Risma yang jalur perjalanan pergi dan pulang kantor setiap hari berubah demi memantau kota. Bahkan, truk yang keluar masuk TPA Benowo pun dipantau dari ruang kerjanya. Dia tahu persis sampai pengemudi truk itu. "Biaya membuat sistem pemantauan ini tak terlalu mahal. Apalagi tak mungkin saya bolak- balik ke Benowo," ujarnya. Hasil kerja keras Risma bersama semua pegawai mulai dapat dirasakan arek suroboyo. Pinggir jalan hijau dengan berbagai pohon dan tanaman bunga berwarna-warni. Kata dia, untuk menghijaukan Surabaya butuh ketulusan. Pasalnya, banyak tanaman yang hilang hanya selang beberapa jam setelah ditanam atau diletakkan di taman. Kalau tanaman hilang, harus segera diganti. "Sementara ini tak apa-apalah, masih banyak persediaan bibit milik Pemkot Surabaya di Wonorejo," kata Risma menghibur kekecewaan para karyawan. Tak jarang warga pun menginjak-injak tanaman hanya untuk menyeberang jalan. Padahal, kalau tanaman tertata baik, yang senang tak hanya pegawai dinas kebersihan dan pertamanan, tetapi seluruh warga Surabaya. Untuk menghijaukan Surabaya, dia juga menggandeng pihak swasta. Ini terutama dalam membenahi sejumlah taman yang potensial sebagai tempat pertemuan, bermain, dan olahraga. "Anggaran kami minim, jadi harus melibatkan pihak ketiga," ujar Risma sambil menyebutkan dana untuk merawat taman kota setiap bulannya Rp 3 miliar.AGNES SWETTA PANDIA Post Date : 02 Juni 2007 |