|
Singkawang,- Matahari masih belum menyengat, namun butiran keringat dua orang ibu di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah kala itu sudah menetes deras. Usia mereka nyaris separuh abad, namun masih tetap tegar menyusuri lokasi sumber segala sampah itu demi meringankan beban keluarga. Ibu Masni dan Ibu Kartina, dua ibu ini merupakan beberapa diantara sekian banyak ibu-ibu yang menjadi pemulung di lokasi TPA Jalan Sekip Baru Ujung Kelurahan Roban Singkawang Tengah. Dengan pakaian ala kadarnya dan sebatang tongkat untuk mencari sampah, perempuan perkasa ini rela berpanas-panas di tempat yang seharusnya bukan merupakan tempat selayaknya seorang perempuan bekerja. Make Up yang menjadi pelengkap tata rias wanita umum pun tak diperhatikannya lagi saat itu. Sekilas, penampilan mereka berdua sudah tampak sama seperti kaum Adam, bertubuh tegap dengan topi di kepala. Namun gaya keibuannya masih tetap melekat ketika ia berbicara. "Saya bekerja menjadi pemulung ini untuk meringankan beban keluarga. Pendapat suami tak cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, makanya biar seperti ini saya tetap bekerja,"kata Ibu Masni yang mengaku bekerja menjadi pemulung sejak delapan tahun silam. Belum lagi kata dia, untuk kebutuhan anak-anaknya yang sudah ingin meneruskan cita-cita mereka untuk bersekolah, semuanya itu membuat Masni tetap bertahan menjadi pemulung, dan harus merelakan dirinya setiap hari bersahabat dengan sampah dan lalat-lalat nakal. Tanpa lagi peduli dengan penyakit yang sewaktu-waktu bisa saja menyerang ia karena keseringan berada di lokasi sumber segala sampah. Sama halnya dengan Ibu Kartina, teman kerja Ibu Masni. Isteri dari PTT Kebersihan Dinas Lingkungan dan Kebersihan Kota Singkawang ini mengaku harus ikhlas menjadi pemulung demi sesuap nasi dan meringankan beban keluarganya. "Apalagi cari pekerjaan sekarang sulit, tidak ada yang ingin memakai tenaga kita, jadi ya seperti ini,"kata Kartina, yang masih tetap tersenyum meski kelelahan terlihat jelas di guratan wajahnya yang keibuan. Ia mengaku sempat mengalami pusing, mual dan muntah ketika pertama kali bekerja di situ. Namun karena sudah terbiasa dan demi harapan hidup, rasa mual, pusing itu tidak lagi menghampiri. Dalam satu hari, pagi hingga siang, dua ibu pemulung ini meraup pendapatan hanya sebesar Rp 3000 sampai Rp 4000. Kendati terbilang kecil, mereka bersyukur dengan pendapatan tersebut. Mereka berprinsip, siapa yang akan memberi uang sebesar itu kalau bukan dengan mencari sampah-sampah dari jenis anorganik. Sambil memilah-milah sampah, dua ibu ini sedikit berharap, akan ada pekerjaan baru menghampiri mereka untuk meringankan beban keluarga. "Kami berharap suatu saat nanti akan ada pekerjaan lain. Karena pada prinsipnya kami juga ingin bekerja sebagaimana mestinya seorang ibu. Tapi, jika semua itu tidak ada, kami terima. Mungkin ini sudah takdir kami,"katanya sabar. (*) Post Date : 14 Juni 2005 |