Ribuan Hektar Kebun Rakyat di Luwu Utara Tergenang Air

Sumber:Kompas - 13 April 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Masamba, Kompas - Ribuan hektar kebun rakyat di Kabupaten Luwu Utara hampir dua pekan ini terbenam air. Kebun-kebun itu antara lain kebun kakao, jeruk, padi, kedelai, durian, langsat, dan pisang. Para petani tidak bisa bekerja karena lahan-lahan kebun dan sawah terendam air setinggi satu meter lebih.

Pemantauan Kompas sampai Senin (11/4), air masih menggenang di sejumlah lokasi, antara lain di Desa Batangtongka (Kecamatan Bone-bone), Desa Lembang-lembang, Beringin Jaya, Lara I, dan Lawewe (semuanya di Kecamatan Baebunta). Bahkan akses menuju dua desa, yaitu Lawewe dan Lembang-lembang, hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu katinting.

Di kebun-kebun kakao dan jeruk di Batangtongka, misalnya, ketinggian air masih sekitar satu meter. Tanaman kakao atau jeruk seperti berada di tengah danau, yang terlihat hanya pucuk batang dan daun-daunnya. Setelah berhari-hari terendam air, buah kakao tampak kemerah-merahan. Para petani memastikan, bila terendam air lebih dari satu pekan, buah kakao itu tidak bisa lagi dipanen.

Begitu juga buah jeruk. Akibat terendam air, satu per satu buahnya berjatuhan dan membusuk sehingga petani tidak bisa lagi memanen. Setiap hari para petani memungut buah jeruk yang jatuh ke air, sebagian lagi membusuk.

"Tidak bisa lagi diselamatkan, padahal hampir mau dipanen. Tetapi, banjir keburu datang lebih dulu," tutur Bahri, petani di Desa Batangtongka, Kecamatan Bone-bone.

Selain kebun kakao dan jeruk, hampir semua lahan produksi milik rakyat disapu banjir. Pisang, durian, langsat, dan rambutan juga tak luput dari terjangan banjir. Namun, yang paling mengenaskan adalah tanaman padi dan kedelai. Begitu banjir datang, lahan tanaman itu langsung lenyap ditelan air. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.

Parah

Menurut Camat Bone-bone Jafar Rahman, banjir kali ini lebih parah dari beberapa tahun silam. Ribuan hektar lahan pertanian dan kebun rakyat tersapu air sejak hujan datang tiga hari berturut-turut pada 1 April lalu. Akibatnya, sembilan sungai, terutama dua sungai besar, yaitu Rongkong dan Baliase, meluap ke permukiman penduduk dan lahan pertanian atau perkebunan. Apalagi tanggul- tanggul yang dibangun pemerintah maupun swadaya masyarakat jebol diterjang air.

Menurut catatan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, dari 11 kecamatan di Luwu Utara, delapan kecamatan terkepung air, yaitu Baebunta, Mappedeceng, Bone-bone, Sukamaju, Malangke, Malangke Barat, Masamba, dan Sabbang. Sementara jumlah desa yang tergenang air sebanyak 51 desa.

Menurut informasi warga dan pihak pemerintah kabupaten, banjir tersebut akibat sungai- sungai tidak mampu menampung air hujan. Ini dikarenakan badan sungai yang berkelok- kelok, kecil, dan terjadi pendangkalan.

"Banjir seperti itu sebetulnya beberapa kali terjadi. Setiap musim hujan atau apabila turun hujan di bagian hulu, selalu saja terjadi banjir. Ini karena kondisi sungai yang sudah banyak endapan. Karena itu, penting untuk dilakukan normalisasi sungai," ungkap Sekretaris Daerah Kabupaten Luwu Utara Andi Chaerul Pangerang di Masamba, Senin.

Jafar Rahman, Camat Baebunta Muh Asyir, dan sejumlah kepala desa setempat juga menyatakan hal yang sama.

"Kondisi sungai yang sekarang ini berkelok-kelok dan sudah dangkal akibat banyak endapan. Jadi, begitu hujan turun dengan deras, airnya langsung meluap. Apa saja diterjangnya, termasuk rumah dan kebun. Oleh karena itu, kami minta agar dilakukan pelurusan sungai," ujar Jafar Rahman saat menunjukkan kepada Kompas kondisi Sungai Bone-bone di Desa Banyuurip.

"Memang kondisi sungainya yang memprihatinkan, jadi perlu adanya perbaikan dan pemulihan kondisi sungai," kata Muh Asyir.

Chaerul Pangerang mengatakan, sembilan sungai yang mengalir di Kabupaten Luwu Utara saat ini kondisinya sangat mendesak untuk dilakukan perbaikan (normalisasi). Selama ini Pemerintah Kabupaten Luwu Utara tidak bisa melakukan perbaikan secara optimal karena anggarannya boleh dikata sangat minim.

Dia mengatakan, pemerintah daerah selama ini hanya melakukan perbaikan yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan anggaran pemerintah daerah, misalnya, pembuatan tanggul di sejumlah anak sungai. Namun, itu pun tak bisa dilakukan di banyak lokasi.

Alhasil, masyarakat pun ikut terlibat dengan membangun tanggul secara swadaya. Runyamnya, sejak banjir awal bulan ini semua tanggul itu pun jebol.

Menurut Chaerul, untuk memperbaiki kondisi seluruh sungai itu dibutuhkan anggaran kira-kira Rp 200 miliar. Namun, persoalannya anggaran sebesar itu tidak ada. "Jangankan daerah (kabupaten), pemerintah tingkat provinsi saja kesulitan (untuk menyanggupi anggaran sebanyak itu-Red). Untuk itu, kami minta pemerintah pusat untuk turun tangan. Kalau tidak dibenahi, maka banjir akan terus terjadi dan warga yang menjadi korbannya," papar Chaerul, yang juga Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Luwu Utara. (ssd)



Post Date : 13 April 2005