|
NUSA DUA (SINDO) Indonesia tetap mendesak Amerika Serikat (AS) agar bersedia menjadi bagian dari Bali Roadmap. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dunia harus memastikan AS,negara dengan emisi karbon terbesar sekaligus pemilik teknologi maju dan industri maju,mengikuti Bali Roadmap. Tanpa keikutsertaan dan komitmen seluruh negara, upaya penanganan perubahan iklim tidak akan maksimal, ujar Presiden SBY dalam pidato pembukaan pertemuan tingkat menteri Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, kemarin. Presiden SBY menggarisbawahi perlunya seluruh negara maju dan negara berkembang bekerja sama menyelamatkan bumi.Ada keperluan bagi negara maju untuk melanjutkan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada saat yang sama,negara berkembang perlu mengakomodasi kebijakan pembangunan ramah lingkungan dalam jangka panjang. Presiden SBY berharap Bali Roadmap dapat segera disepakati sebagai kerangka kerja baru Protokol Kyoto tahap II.Di tengah sejumlah perbedaan,Presiden meyakinkan pentingnya kerja sama global mengatasi perubahan iklim. Kita di sini untuk memenuhi harapan enam miliar warga dunia saat ini dan sembilan miliar penduduk dunia, termasuk anak cucu kita, pada 2050.Apakah mereka akan hidup dengan suhu 5 derajat Celsius lebih panas daripada saat ini? Itu tergantung kita saat ini, tandasnya. Menurut SBY, Protokol Kyoto merupakan awal yang baik. Namun, pakta global pengurangan emisi itu belum cukup untuk mengatasi masalah kehutanan di negara-negara berkembang. Kita di sini membentuk kerangka kerja baru untuk masyarakat dunia. Kita harus melanjutkan tanggung jawab yang berbeda namun sama, katanya. Presiden SBY menekankan perlunya sinergi dari berbagai pihak, khususnya antara negara-negara maju dan berkembang, untuk menangani masalah perubahan iklim. Negara maju memiliki tanggung jawab historis sehingga harus memimpin perlawanan menghadapi perubahan iklim, ujarnya. Menurut SBY, negara-negara maju memiliki dana dan teknologi untuk mengatasi masalah pemanasan global.Di sisi lain,negara berkembang jangan mengikuti kesalahan yang dibuat negara maju. Negara maju dan negara berkembang bisa mencapai mitigasi bersama-sama, menggunakan energi nonfosil, dan menerapkan kebijakan yang selaras, ujarnya. Terlalu Ambisius Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menilai target pemotongan emisi gas rumah kaca sebagai terlalu ambisius untuk dicantumkan dalam kesepakatan final UNFCCC di Bali. Secara realistis, itu mungkin terlalu ambisius. Dalam perundingan se- lanjutnya, ini akan dinegosiasikan dalam Bali Roadmap lebih lanjut, kata Ban setelah membuka Konferensi Tingkat Tinggi UNFCCC kemarin. Dia menyatakan perlu negosiasi lebih lanjut untuk menghadapi tentangan AS yang menolak pencantuman target pemotongan emisi. Menurut draf konferensi, negara-negara industri didesak memotong emisi gas sebesar 25% dan 40% pada 2020. Dalam acara pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi UNFCCC di Bali International Convention Center (BICC) kemarin, Ban kembali menegaskan bahwa laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tidak terbantahkan. Jika kita tak berbuat apa pun, akan terjadi kenaikan ketinggian permukaan air laut dan sepertiga spesies hewan dan tumbuhan punah. Kita harus beraksi saat ini, kata Ban. Menurut dia, semua kalangan harus melakukan konsensus dalam masalah mitigasi, adaptasi, transfer teknologi,dan reforestasi. Atmosfer kita tidak dapat memisahkan dari mana emisi gas itu berasal, tegasnya. Sebagai bentuk komitmen,Ban menekankan PBB akan melakukan apa pun menghadapi perubahan iklim ini. Kita hadir dengan komitmen penuh seperti dalam pertemuan September di New York sebelumnya, paparnya. Dalam kesempatan itu Perdana Menteri (PM) Kevin Rudd menjelaskan, Australia siap memikul tanggung jawab besar dalam menghadapi perubahan iklim. Masalah perubahan iklim merupakan tantangan generasi manusia dan membutuhkan solusi global multilateral. Kita harus bersama-sama mengatasinya, papar Rudd. Dia menambahkan, Australia akan bertindak lebih besar untuk mengatasi pemanasan global. Langkah-langkah perubahan iklim tidak mudah, tapi kalau tidak dilakukan, ancaman akan semakin besar.Tidak ada istilah utara (negara-negara maju) dan selatan (negara-negara berkembang) dalam masalah perubahan iklim. Kita semua penjaga planet ini, tegas Rudd. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan tiga prinsip utama dalam kerangka kerja pascaberakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. Pertama, kerangka kerja harus mengandung komitmen dan partisipasi seluruh negara. Kedua, kerangka kerja harus mengakui pentingnya pertumbuhan ekonomi.Ketiga,kerangka kerja harus memasukkan perbedaan kondisi di masingmasing negara. Lee menekankan, aksi mitigasi perubahan iklim tidak boleh merusak proses globalisasi dan berdampak buruk pada tenaga kerja di dunia. Perlu dukungan politik dari rakyat di negara kami untuk menghadapi pilihan yang sulit, Singapura dan negara anggota ASEAN akan berkomitmen penuh pada Bali Roadmap untuk rezim pasca- 2012, katanya. Uni Eropa dan negara-negara berkembang mendesak agar kerangka kerja yang akan disepakati dapat mengatasi pemanasan global. Langkah nyata diperlukan agar tidak terjadi kenaikan suhu lebih dari 2 derajat Celsius di atas level masa praindustri. Sementara AS menegaskan, memasukkan target pengurangan emisi dalam dokumen akhir Bali Roadmap akan menciptakan prasangka dalam proses negosiasi. Bali Roadmap merupakan kerangka kerja yang akan dipakai untuk mencapai kesepakatan lebih lanjut dalam sejumlah negosiasi hingga 2009,batas pembahasan Protokol Kyoto fase II. Protokol Kyoto memberi mandat kepada 36 negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5% antara 2008 dan 2012. Bali Roadmap diharapkan dapat membuat kesepakatan mengikat seperti kewajiban untuk memotong emisi sebesar 2540% di bawah level tahun 1990 pada 2020. Kemudian menurunkan emisi menjadi separuh level tahun 2000 pada 2050. Namun terjadi penolakan dari sejumlah negara terhadap draf Bali Roadmap. Realitas yang bisa muncul dalam teks tersebut ialah prasangka terhadap hasil negosiasi dan kemungkinan negosiasi dalam satu arah,ungkap Harlan Watson, pemimpin negosiator AS di UNFCCC kemarin. Di sela pertemuan tingkat tinggi UNFCCC, Presiden SBY bertemu dengan Perdana Menteri Papua Nugini Michael T Somare. Seusai pertemuan, kedua kepala negara berharap adanya terobosan dalam UNFCCC yang tinggal dua hari ini. Di samping terciptanya Bali Roadmap,keduanya berharap bisa memulai perundingan dengan agenda dan batas waktu yang jelas. Kedua pemimpin menekankan pentingnya ada terobosan dan tidak melewatkan kesempatan langka yang ada di Bali ini.Mereka mengharapkan adanya suatu terobosan sehingga terjadi Bali Roadmap, ungkap Juru Bicara (Jubir) Kepresidenan Dino Patti Djalal di Hotel Four Seasons, Jimbaran, Bali,kemarin. Dino mengatakan agenda dan batas waktu tersebut sangat diperlukan karena tanpa kedua hal tersebut kerangka pasca-Protokol Kyoto yang akan berakhir 2012 tidak dapat dicapai. Sekitar pukul 16.00 Wita, Presiden juga menerima kunjungan bilateral dari Presiden Maladewa Maumoon Abdul Gayoom. Dalam kesempatan tersebut, Gayoom menilai UNFCCC yang tengah berlangsung di Bali ini sangat penting karena mendukung upaya pulau-pulau kecil seperti Maladewa dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global. Konferensi ini sangat penting. Ini berjalan lebih maju seperti sudah saya katakan tadi pagi, perubahan iklim ini menjadi perhatian bagi kami.Saya telah berbicara tentang hal ini (perubahan iklim) 20 tahun lalu di sidang PBB,tutur Gayoom di Bali kemarin. (maya sofia/syarifudin) Post Date : 13 Desember 2007 |