|
SULITNYA mengadopsi berbagai introduksi teknologi persampahan dalam penyelamatan sampah kota ternyata disebabkan oleh ketidaksiapan sistem persampahan itu sendiri. Apa pun konsep yang ditawarkan sebagai alternatif pemecahan masalah persampahan tidak dengan mudah diadopsi untuk dilaksanakan. Buktinya, kini kita dapat melihat sampah mulai menumpuk di TPS-TPS (tidak terangkut). Pemerintah kesulitan menetapkan TPA baru, dan seabrek permasalahan akan muncul dikemudian hari, jika akar masalahnya tidak segera diselesaikan. Kiranya, yang harus disamakan persepsinya antara masyarakat dan para pengelola sampah adalah "konsep sistem persampahannya". Misalnya, konsep pendekatan sistem agrobisnis, yang diawali oleh suatu prinsip, bahwa sampah merupakan aset bagi masyarakat dan para pengelola sampah. Aset tersebut akan bernilai guna, apabila produk yang dihasilkan dari hasil processing sampah dapat dipasarkan. Realitanya saat ini pasarnya sangat terbatas, dan tidak sebanding dengan produksi sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga ataupun usaha lainnya. Walaupun ada berbagai program pemerintah yang seharusnya mampu menyerap pasar kompos tersebut. Katakanlah Dinas Perkebunan, Kehutanan, Pertanian, Pertamanan, Lingkungan Hidup, dan sebagainya melalui dana APBD yang ada. Pemkot/pemkab tentu memiliki program pembelian pupuk bagi pemeliharaan taman dan hutan serta lahan kritis (Gerhan, GNRLK, dsb). Selain program pertanian organik yang telah dicanangkan oleh Dinas Pertanian. Jika ini dilakukan, pasar yang tercipta akan memberikan iklim kondusif bagi kegiatan proses produksi kompos dari sampah kota. Selain itu, pemerintah dapat menggali dan mengembangkan pasar kompos (hasil utama pemrosesan sampah) dengan mewajibkan para pengusaha galian C, mengembalikan kesuburan lahan yang telah digalinya, dengan menggunakan kompos. Selain itu, berbagai kegiatan program WJEMP yang telah menurunkan dana puluhan miliar rupiah, tentu tidak akan tampak hasilnya, jika tidak dibarengi dengan kegiatan pendukung utamanya, yaitu pemasaran "kompos kota". Nyatanya, kesemua ide, gagasan, konsep atau apa pun namanya sangat sulit diimplementasikan di lapangan, lantaran SDM yang terlibat dipersampahan terbelenggu oleh "kebiasaan" memandang rutinitas pekerjaannya. Akibatnya sentuhan teknologi dan inovasi baru sangat sulit diadopsi. Misalnya, konsep menyelamatkan sampah kota dengan membuat kompos di tingkat TPS dengan pasar petani organik, ternyata juga sama sulitnya, mengingat akan ada sebagian orang kehilangan mata pencahariannya. Mereka melihatnya bukan suatu solusi, tetapi merupakan ancaman bagi kehidupannya. Padahal konsep ini sesungguhnya untuk meningkatkan harkat hidup mereka. Mengingat industri processing sampah yang akan diintroduksi, bertujuan memberdayakan masyarakat pengelola sampah. Pada tatanan ini, keterlibatan pengelola sampah di tingkat RT/RW di sekitar TPS, para pemulung dan industri daur ulang merupakan hal yang sangat penting, sehingga pendapatannya akan lebih baik lagi, kesehatannya terjamin dan di ujung akhir adalah kesejahteraannya, bukan sebaliknya. Oleh karenanya, kata-kata kunci yang dapat digunakan dalam melakukan introduksi berbagai teknologi persampahan adalah memberdayakan manusia dengan kesistemannya. Langkah awal dalam melakukan "revitalisasi sumber daya manusia pengelolanya" dimulai di tingkat lapangan yang terlibat langsung maupun orang-orang yang duduk di belakang meja, yang tidak langsung terlibat. Misalnya, bagi pengelola sampah langsung (pemulung, pekerja pengangkut sampah, pengusaha kompos sampah, dsb), teknologi yang diintroduksi harus mampu memberikan jaminan tambahan pendapatan bagi mereka. Sedangkan bagi para pengguna sampah (industri daur ulang dan petani) harus pula diyakinkan bahwa keterlibatannya akan memberikan nilai manfaat yang besar bagi dirinya sendiri, yaitu lebih besarnya keuntungan yang akan diperoleh dari usahanya bila menggunakan produk processing sampah. Sedangkan bagi para pejabat (birokrat di lingkungan persampahan, seperti Dinas Kebersihan atau Lingkungan Hidup) harus diyakinkan bahwa mereka akan diberikan reward ataupun punishment atas keberhasilan/kegagalan program yang akan dilaksanakannya. Pada tatanan birokrat sesungguhnya merekalah yang harus menjadi panutan di kesisteman ini. Solusi pengelolaan sampah kota, ternyata tidak harus menyediakan dana yang besar, tetapi cukup diawali dengan upaya yang kuat melakukan pemberdayaan sumber daya manusia pengelola sampah bagi terbetuknya kesisteman persampahan yang andal, yang dicirikan terbentuknya pasar hasil pemrosesan sampah kota (kompos). Diharapkan, melalui upaya pemberdayaan kesisteman dan masyarakat peduli sampah, akan tercipta kota yang bersih, makmur, taat dan bersahabat, semoga. Oleh ROCHADI TAWAF Penulis, Dosen Fakultas Peternakan Unpad. Post Date : 17 Januari 2006 |