|
Jamaknya hidup di pengungsian, segala sesuatunya serba terbatas. Sebut saja aktivitas yang biasa dikerjakan di rumah sendiri. Mandi, memasak, tidur, hingga buang air adalah aktivitas yang tak bisa dilakukan dengan leluasa di pengungsian. Apalagi pengungsian korban gempa dan tsunami di Banda Aceh dan Aceh besar. Pemandangannya sungguh menyesakkan. Ratusan tenda aneka ukuran berdiri di tanah lapang atau sedikit lapang. Satu tenda dihuni beberapa pengungsi. Bahkan, tenda sepanjang sekitar 20 x 6 meter bisa dihuni lima belas keluarga dengan perabot seadanya. Ruang tidur, tempat mencuci, sekaligus menjadi ruang keluarga. Ada tenda yang disekat-sekat, ada pula yang tanpa sekat sehingga tak ada batas wilayah pribadi. Tidur beralas tikar tanpa bantal dan tanpa selimut. Terik matahari menambah pengap di dalam tenda. Sebaliknya, ketika malam, hawa dingin menusuk tulang. Ketiadaan alternatif membuat 400.000 jiwa selama hampir sebulan ini menghadapinya di seluruh wilayah bencana di NAD. DARI sekian masalah yang muncul, yang kini cukup menonjol adalah sanitasi. Tak semua lokasi pengungsian memiliki sarana mandi, cuci, kakus (MCK) yang memadai. Tak sedikit warga mencuci dan memasak di samping tenda, lalu membuang limbahnya melalui saluran air sederhana yang diarahkan ke satu titik yang lebih landai. Terciptalah kubangan limbah di tengah permukiman. Jika tak ada daerah landai, air dibiarkan sehingga tanah jadi becek. Sementara kakus-kakus darurat yang tersedia umumnya diposisikan puluhan meter dari kerumunan pengungsian. Memanfaatkan sebuah lubang galian, sebuah papan kayu dengan lubang di bagian tengahnya dipasang melintang sehingga terbentuklah lubang kakus darurat. Dindingnya terbuat dari terpal plastik atau papan kayu sederhana. Tanpa ember atau bak penampung air untuk membilas. Angin kencang merupakan musuh utama kakus dengan terpal plastik. Selain menyebarkan bau, angin menyibakkan terpal yang difungsikan sebagai pintu. "Mesti bawa air dan ember serta teman agar tak ada orang nyelonong atau gangguan angin," kata Ros, pengungsi di TVRI Banda Aceh. Pengungsi yang tak kuat menahan bau membawa masker penutup hidung. Musim hujan menyebabkan papan pijakan dan dinding kamar mandi dipenuhi lintah. Sebagian pengungsi memilih buang air besar atau kecil di semak belukar atau di antara tingginya rerumputan karena MCK darurat bau dan kotor. "Tetapi kami mau bilang apa. Semuanya susah," kata Agus yang istrinya tengah hamil empat bulan. Di kawasan pengungsian Asrama Secata Mata Ie, Aceh Besar, pun tak jauh berbeda. Hanya saja, terdapat gedung dapur umum dan kamar mandi yang dialiri air pagi dan sore saja. Karena itu, sebelum aliran air terputus, warga menampung air bersih di jeriken sebanyak-banyaknya. Kondisi lebih parah dialami pengungsi yang tinggal di pedalaman perbukitan atau pesisir laut, seperti Neuhun, Aceh Besar, hingga Lamreh di kawasan Krueng Raya. Di lokasi pengungsian di dekat kompleks makam pahlawan Aceh, Laksamana Malahayati, Desa Lamreh, Masjid Raya, Aceh Besar, tak ada satu pun MCK. Hanya ada satu sumber air sehingga ratusan keluarga pengungsi yang tinggal di perbukitan harus turun kalau ingin memperoleh air. "Kalau mau buang hajat, mesti masuk ke kebun dan bawa air sendiri. Tak ada cangkul untuk bikin lubang. Terpaksa kami harus pindah-pindah," kata Revita, bidan yang tinggal di sana. Padahal, di pengungsian itu ada 15 balita yang membutuhkan air bersih untuk bilas atau mandi. Kondisi semakin sulit bila malam tiba karena tak ada aliran listrik. Mereka menggunakan lampu minyak seadanya untuk penerangan. (LUKI AULIA/GESIT ARIYANTO) Post Date : 26 Januari 2005 |