Denpasar (Bali Post) – Kalangan pariwisata khususnya perhotelan dinilai tidak memiliki komitmen untuk menghemat air, padahal mereka sudah tahu Bali mengalami krisis air bersih. Kalangan perhotelan juga tidak sensitif terhadap kenyataan bahwa merekalah yang paling banyak menggunakan air. Agar Bali ke depan tidak kering kerontang dan terus kekurangan air, perlu dibangun kesadaran dari kalangan perhotelan untuk menghemat pemanfaatan air dan melakukan langkah-langkah ekologis untuk mengembalikan volume air tanah di Bali. Demikian dikemukakan Direktur Walhi Bali Agung Wardana yang dihubungi Jumat (16/10) . “Jangan sampai ada pikiran di kalangan perhotelan, seolah-olah karena mereka sudah membayar air dari PDAM atau membayar Air Bawah Tanah (ABT) kepada pemerintah, mereka bias sesukanya memanfaatkan air. Dengan teknologi yang ada mestinya mereka bisa mengatur agar pemakaian air di lingkungan hotel bisa lebih efisien,” ujar Wardana. Untuk jangka pendek misalnya, membuat himbauan tertulis di kamar-kamar hotel agar para tamu memanfaatkan air dengan efisien. Juga di setiap hotel khususnya hotel berbintang diwajibkan memiliki pengolahan limbah dan penampungan air sehingga air limbah masih bisa dimanfaatkan. Antara lain untuk menyiram taman dan kebutuhan lainnya. “Kalau disampaikan dengan argumentasi yang benar, para turis pasti tak berkeberatan. Kesadaran wisatawan pada sustainable tourism sudah tinggi,” tandas Agung.
Di sisi lain untuk upaya jangka panjang, setiap hotel harus punya program dan bila perlu lokasi binaan untuk penghijauan. Misalnya, tiap tahun setiap hotel di Bali menyumbangkan pohon sebanyak jumlah tamu yang menginap, merawatnya sampai pohon itu tumbuh dengan baik. Bayangkan, untuk wisatawan mancanegara saja, jumlahnya lebih dari 1,5 juta orang pertahun. Kalau ditambah wisatawan domestik, berarti ada tambahan 3 juta pohon per tahun di Bali. Dia menambahkan, tak bias dipungkiri bahwa selama ini ada sejumlah hotel yang telah melakukan penghijauan dengan menanam pohon, namun masih terkesan artifisial. Selain jumlah yang ditanam terbatas, pemeliharaannya juga terbengkelai, sehingga kemungkinan hidup pohon-pohon itu sangat kecil. “Jadi harus ada langkah radikal yang beranjak dari kesadaran orang pariwisata sendiri. Mestinya, apa yang mereka tuai dari tanah Bali mereka juga harus menanam. Itu baru konsep sustainable tourism yang benar,” jelas Wardana.
Kalangan perhotelan sendiri, baik yang tergabung di Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Bali Hotel Association (BHA) maupun di Bali Villa Association (BVA) tampaknya belum punya konsep yang jelas tentang upaya mengefisienkan pemakaian air. Kendati mereka mengaku sudah melakukan efisiensi pemakaian air, namun upaya yang bersifat jangka panjang nyaris tak pernah dipikirkan. Umumnya, mereka menyalahkan pemerintah yang terus saja memberi ijin membuka hotel baru tanpa memperhatikan daya dukung alam Bali.
Dihubungi terpisah, Direktur Ekeskutif BHA Djinaldi Gosana mengatakan, efisiensi sudah dilakukan di hotel-hotel, khususnya di lingkungan BHA yang anggotanya GM hotel bintang empat dan lima. Dia berargumen, di setiap hotel sudah ada pengolah limbah untuk daur ulang. Mereka juga menjajagi keterlibatan swasta dari luar negeri untuk pengadaan air di Bali. “Kami justru mempertanyakan, mengapa pemerintah terus saja memberi ijin pembangunan hotel baru, padahal air dan listrik di Bali sudah krisis. Bahkan, Pemprov Bali meningkatkan tariff pemakaian air bawah tanah sampai 1.000 persen. Maksudnya apa?,” gugah Djinaldi. (056)
Post Date : 16 Oktober 2009
|