|
Jakarta, Kompas - Ketua Masyarakat Air Minum Indonesia Jakarta Poltak Situmorang, Minggu (20/11), menyampaikan penolakan terhadap rencana kenaikan tarif perusahaan air minum. Alasannya, kualitas air belum bisa dikategorikan sebagai air bersih, tetapi warga makin dibebankan membayar tarif kualitas air minum. Berdasarkan data yang dimiliki, terdapat 86.948 pelanggan air minum di Jakarta atau 13,39 persen dari jumlah 649.249 pelanggan yang tidak mendapat suplai air dari perusahaan air minum. Kemudian ada sekitar 15.000 pengaduan dalam setiap bulan yang mengeluhkan kualitas air minum. Bagaimana pelanggan bisa memahami rencana kenaikan tarif tersebut? kata Poltak. Sebelumnya, menurut Ketua Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta Achmad Lanti, tarif air minum yang dikelola Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya bermitra dengan dua operator asing, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thmaes PAM Jaya (TPJ), direncanakan naik pada 1 Januari 2006 nanti. Kenaikan diperkirakan mencapai 12 persen hingga 16 persen dari tarif rata-rata Rp 5.300 per meter kubik. Rencana kenaikan itu didasarkan pada ketetapan Penyesuaian Tarif Otomatis sejak awal 2005 hingga akhir 2007. Ini berdasarkan ketetapan DPRD DKI periode 1999-2004. Menurut Poltak, tidak semestinya kenaikan tarif air minum secara otomatis itu diterapkan dengan alasan nilai defisit PT Palyja mencapai Rp 369 miliar dan defisit PT TPJ Rp 461 miliar. Juga beban utang PAM Jaya kepada Departemen Keuangan Rp 1,6 triliun. Poltak malahan mempertanyakan, selama lima tahun mengelola air minum di Jakarta, kedua operator mitra asing itu menerima dana pelanggan sebanyak Rp 4,732 triliun. Total pengeluaran kedua operator itu pun di bawah penerimaan, yaitu hanya Rp 4 triliun. Belum lagi tambahan dana dari penjualan obligasi Rp 700 miliar pada 2005 dengan jaminan fidusia. Atas penjaminan fidusia, atau jaminan atas tagihan pelanggan ini, jika sewaktu-waktu terjadi pemutusan kontrak kerja, pelanggan wajib melunasi kepada pihak penjamin obligasi, kata Poltak. Tertutup Ketua Fraksi Partai Golkar Inggrad Joshua, yang juga terlibat dalam tim kecil DPRD untuk mengkritisi kebijakan PAM Jaya, mengemukakan, sistem keuangan PAM Jaya beserta kedua operator asingnya masih tertutup. Yang terjadi sekarang, selalu dikatakan ada beban utang, baik dari PAM Jaya maupun beban akibat defisit kedua operator asing. Tarif air minum pelanggan kemudian selalu dinaikkan; dan disampaikan kepada pelanggan bahwa pengelola air minum itu terus-menerus masih dibebani utang tanpa penjelasan yang dimengerti publik, kata Inggrad. Inggrad mengatakan, tim kecil PAM Jaya yang dibentuk DPRD pada pertengahan 2005 akan merekomendasikan penolakan terhadap rencana kenaikan tarif air minum. Rekomendasi itu akan segera dikeluarkan sebelum penetapan kenaikan tarif air minum secara otomatis pada 1 Januari 2006. Sebelumnya, tim ini gagal menolak kenaikan tarif otomatis pada semester II 2005 sebesar 9,2 persen. Tim kecil DPRD juga terus meminta transparansi pengelolaan air minum. Jangan sampai seperti sekarang ini, kita selalu dibebani utang terus-menerus, kata Inggrad. Dia juga menyinggung, masalah kebocoran air minum 51 persen dari saluran pipa selama ini juga harus dikurangi. Hal ini menjadi kewajiban operator sehingga tidak boleh begitu saja menjadikan hal ini sebagai alasan kesulitan meningkatkan kualitas pelayanan air minum. (NAW) Post Date : 21 November 2005 |