Relokasi Korban Banjir, Efektifkah?

Sumber:Kompas - 21 Desember 2004
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
MARNI (25) mengawasi anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun bermain di genangan air setinggi hampir sepinggang orang dewasa tepat di depan rumahnya. Andi, anak sulungnya, tampak gembira dengan seluruh tubuh kuyup setelah berendam, berenang, dan bermain air bersama teman-teman satu kampungnya di Desa Sedinginan, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Sesekali Marni meneriaki anaknya agar berhati-hati bermain di dalam air berwarna merah tembaga kehitaman itu. Teras depan dan lantai kayu rumah Marni lembab. Genangan banjir menorehkan garis pada ketinggian sekitar 30 sentimeter di dinding bagian dalam rumahnya.

Mau tak mau, banjir telah akrab dalam kehidupan keluarga Marni dan juga sekitar 150 keluarga lain di Desa Sedinginan yang berada di bantaran Sungai Rokan. "Ini sudah keempat kalinya sejak tahun 2000," tutur Marni.

Banjir melanda desanya bertepatan dengan Idul Fitri, 14 November lalu. Sampai pertengahan Desember ini berarti sudah sebulan lebih air menggenangi rumahnya. Namun, tidak ada niat sedikit pun untuk mengungsi, apalagi berpindah rumah ke lokasi yang tak terjangkau banjir. Bagi keluarga yang sehari-hari bergantung pada perolehan menjaring ikan ini, pergi jauh dari sisi sungai adalah hal mustahil.

"Pertama kali saya pindah ikut suami delapan tahun lalu, semuanya terasa pas dan nyaman tinggal di sini. Dekat dengan tempat kerja suamiku, kebutuhan air terpenuhi tanpa harus beli atau mencari jauh dari rumah. Masih banyak pohon waktu itu. Sekarang memang lebih terbuka, makin banyak kebun sawit di sekeliling desa. Suami saya juga kadang ikut bekerja di kebun," tutur Marni.

Ahmad, tetangga sebelah rumah Marni, menambahkan, kelangsungan hidup mereka sekarang tergantung pada pasokan bantuan dari pemerintah. Pekerjaannya sebagai penangkap ikan maupun sambilan di perkebunan sawit terhenti total selama banjir ini. Namun, ia yakin begitu air surut kehidupan kampung akan berjalan normal kembali.

Berbeda jika mereka harus pindah tempat menjauh dari sungai, karena hasilnya belum tentu cukup untuk hidup. Berganti pekerjaan pun bukan soal gampang bagi mereka.

Agaknya, usulan sejumlah pihak untuk memindahkan korban banjir ke sebuah pemukiman baru yang bebas banjir bakal menghadapi dilema. Program relokasi ini sempat menjadi isu, dan sudah pernah diajukan Pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2003 untuk memperoleh kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Muncul pula pertanyaan, seberapa penting usulan ini sehingga harus dilaksanakan? Bencana banjir memang menimbulkan banyak masalah bagi warga. Tetapi memindahkan mereka bukan berarti persoalan selesai. Keterikatan warga dengan sungai yang telah dijalin berpuluh bahkan beratus tahun silam, sejak nenek moyangnya, tidak bisa begitu saja digantikan dengan lahan baru.

GUBERNUR Riau Rusli Zainal menegaskan, program relokasi ini tidak dapat serta-merta diterapkan karena terkait erat dengan mengubah pola hidup warga. Ia mengatakan perlunya penelitian intensif dan menyeluruh dari berbagai aspek mengenai penerapan program relokasi ini, sebelum diputuskan untuk merelokasi warga.

Akan tetapi, keseriusan pemerintah dalam menangani bencana juga patut dipertanyakan mengingat selama empat tahun berturut-turut banjir melanda daerah yang sama. Kerusakan fisik dan korban jiwa juga hampir tiap tahun terjadi. Dan, pada tahun 2004 ini bencana kembali terulang dengan kerugian yang semakin besar.

Enam nyawa melayang selama pertengahan Oktober hingga Desember ini. kerusakan lahan pertanian, perkebunan, serta sarana dan prasarana umum hancur. Total kerugian yang ditanggung mencapai ratusan miliar rupiah. Akan tetapi, program penanggulangan yang sedang giat dilakukan saat ini hanya terbatas pada distribusi bantuan makanan dan air bersih, obat-obatan, serta penggalakan posko-posko bantuan banjir.

Masyarakat mempertanyakan langkah-langkah yang telah dan akan diambil pemerintah setempat guna mencegah berulangnya bencana selama satu tahun terakhir maupun untuk tahun-tahun ke depan lagi.

Pertanyaan itu berhubungan dengan kompleksnya masalah yang melatarbelakangi munculnya bencana banjir tahunan di Riau dalam kurun empat tahun terakhir.

KERUGIAN material maupun immaterial akibat banjir rutin ini sungguh tak terhingga. Rusaknya lingkungan yang parah disebabkan oleh pembabatan hutan secara besar-besaran. Oleh karena itu, program pemulihan menyangkut keseimbangan alam seharusnya menjadi subyek utama.

Saat ini hutan alam di Riau hanya tersisa kurang dari tiga persen dari seluruh hutan alam yang ada di sana. Perluasan perkebunan dan penebangan liar menjadi penyebab utama hilangnya penyeimbang alami yang mengatur peresapan tanah dan sebagai paru-paru dunia. Di Riau sendiri 95 persen dari total 4,3 juta areal hutan alam telah berganti rupa, menjelma menjadi perkebunan atau dibiarkan kosong setelah kayu-kayunya dibabat.

Direktur Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Riau, Pekanbaru, Ariful Amri, menyebutkan, pembabatan hutan dengan dalih perluasan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau selama 20 tahun terakhir berdampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan. Total luas lahan perkebunan saat ini mencapai 1,8 juta hektar atau meningkat tiga kali lipat dari tahun 1980-an.

Berdasarkan data yang dihimpun Rona Lingkungan Unri, di empat daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Kampar, Indragiri, Rokan, dan Siak, normalnya hanya terjadi siklus banjir besar lima tahun sekali. Namun, sejak tahun 2000 hingga 2004, terbukti banjir sudah menjadi langganan setiap tahun.

Tidak ada lagi pepohonan yang mampu mempertahankan kandungan air dalam tanah. Perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit sama sekali tidak menolong karena tumbuhan berakar serabut ini tidak dapat mengikat air.

Di sisi lain, ada saja pihak-pihak yang berdalih membuka hutan untuk perkebunan, tetapi kenyataannya hanya mengambil kayu kemudian membiarkan lahan porak poranda dan gersang tanpa pohonan. Kasus-kasus ini kasat mata, tetapi sulit sekali ditindak secara hukum. (neli triana)

Post Date : 21 Desember 2004