|
BEKASI Rekomendasi Tim Pemantau dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi yang mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar segera membebaskan lahan kosong seluas 2,3 hektare di Pempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, mulai menuai kritik. Ide pembebasan lahan tersebut, justru dianggap tidak menyelesaikan masalah. "Saya kecewa dengan hasil kajian tim tersebut. Seharusnya, mereka tidak sekadar melihat dari sisi luas wilayah. Kalau cuma dari situ saja, wilayah di Bantar Gebang itu masih cukup luas. Tapi, bagaimana dampak sampah itu bagi masyarakat di sekitarnya," jelas anggota DPRD Kota Bekasi, Slamat Siahaan, kepada Pembaruan, Senin (8/5). Dia menambahkan, tim yang ditugaskan mengkaji keberadaan TPA tersebut, seharusnya memikirkan dampak-dampak yang telah dan akan ditimbulkan dari adanya tempat pembuangan sampah di wilayah timur Kota Bekasi tersebut. "Sedikitnya, ada tiga hal yang harus dicermati dalam kajian mereka," ungkapnya. Pertama, keberadaan TPA dinilai telah mendukung kerusakan lingkungan di lokasi tersebut. Hal ini, tuturnya, dapat mudah terlihat dari kondisi lingkungan dan sanitasi warga masyarakatnya. "Bagi warga di sana, bau-bauan yang tidak sedap sudah menjadi hal yang dirasakan setiap harinya," kata dia. Hal yang kedua, tim seharusnya mengingat kasus meledaknya timbunan sampah di TPA Leuwigajah, Bandung, beberapa waktu lalu. Ledakan itu, tutur Slamat, terjadi akibat terakumulasinya kandungan gas yang rentan meledak di bawah tumpukan sampah. "Bukan enggak mungkin kalau hal itu juga terjadi di Bantar Gebang," tambahnya. Sedangkan hal yang terakhir, menurut Slamat, tim yang dibentuk dari para pakar lingkungan di Universitas Indonesia dan Universitas Islam "45" Bekasi, seharusnya menawarkan adanya perubahan peruntukkan di lokasi sekitar TPA. Selama ini, tutur wakil rakyat dari daerah pemilihan Bantar Gebang tersebut, citra Bantar Gebang sangat melekat dengan stigma tempat pembuangan sampah. "Apa yang enggak dibuang di sana. Mulai dari sampah sampai mayat, semua dibuang di Bantar Gebang," tegasnya. Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah dalam hal ini Pemkot Bekasi harus benar mengambil sikap terkait keberadaan TPA Bantar Gebang. Pihak yang akan sangat menderita jika pemerintah salah mengambil sikap, tuturnya, adalah masyarakat sendiri. "Kalau memang Bantar Gebang akan difungsikan sebagai lokasi pembuangan sampah untuk mendukung keberadaan DKI sebagai Ibukota Negara, ya, pindahkan saja warga yang ada di sana," pintanya. Dengan begitu, sambung dia, lokasi Bantar Gebang dan sekitarnya dinyatakan bebas dari hunian warga. "Kan, pemerintah bisa membangun industri yang dapat memanfaatkan keberadaan sampah di lokasi tersebut," tambah Slamat. Dikaji Ulang Sementara itu, anggota DPRD Kota Bekasi, yang juga anggota tim pengkaji TPA Bantar Gebang dari kalangan dewan, Wahyu Prihantono, secara terpisah mengatakan, keberadaan TPA tersebut harus dikaji ulang. Menurut dia, hal ini dilakukan setelah tim beranggotakan enam anggota dewan dari setiap partai yang ada di DPRD Kota Bekasi mempelajari kondisi yang ada seputar pengelolaan TPA Bantar Gebang. "Ada dua syarat kalau DKI tetap ingin melanjutkan operasional TPA Bantar Gebang. Yakni, masalah transparansi keuangan dan transparansi kewajiban pemeliharaan lingkungan yang telah rusak selama ini," tegasnya. Dia mengungkapkan, kerugian akibat kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi di TPA Bantar Gebang ditengarai mencapai Rp 400 miliar. Artinya, tutur Wahyu, Pemprov DKI harus mengganti kerugian tersebut sebelum melanjutkan kembali pengopersian TPA Bantar Gebang. "Pengoperasian nantinya juga harus memperhitungkan kredibilitas pengelola. Jangan seperti sekarang," tegasnya. [P-11] Post Date : 08 Mei 2006 |