|
BANDUNG, (PR).- Mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang (Reducing Emission from Deforestation in Developing Country/REDD) dalam "Bali Road Map" diharapkan tidak menjebak Indonesia menuju bisnis perdagangan karbon semata. Nilai kompensasi terhadap pemeliharaan hutan harus memberi kontribusi positif terhadap masyarakat yang hidup dari hasil hutan. Hal itu diungkapkan pakar anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Ir. Supardiono Sobirin, ketika dihubungi lewat telefon, Minggu (16/12). "Harus ditekankan agar land use (pemanfaatan lahan) berada di pihak pemilik kedaulatan," ujarnya. Sejak Protokol Kyoto ditetapkan 10 tahun lalu, Sobirin menilai, Indonesia belum mendapat keuntungan berarti dari berbagai mekanisme fleksibel yang tercantum di dalamnya karena belum adanya kesepakatan yang mengikat. Sobirin menekankan, mekanisme apapun yang diaplikasikan di daerah dari hasil Konferensi Perubahan Iklim harus menjunjung tinggi kemandirian pemerintah dalam pengelolaannya. "Kalau diperbolehkan, cukup konsultan dalam negeri saja yang dilibatkan dalam verifikasi dan sertifikasi proposal. Berdasarkan kasus di Amerika Selatan, biaya konsultan saja sudah menyedot 30% anggaran yang disediakan, tentunya menjadi tidak adil," ungkapnya. Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali 3-15 Desember 2007, menyepakati "Bali Road Map". Sejumlah pembahasan yang diselesaikan, di antaranya mengenai REDD, Adaptation Fund dan organisasi pengelolanya, Clean Development Mechanism (CDM), dan transfer teknologi. Sedangkan target penurunan emisi sebesar 25-40% pada 2020 dari level 1990 yang menjadi kewajiban negara Annex I akan dibahas lebih lanjut sampai pertemuan Kopenhagen 2009 mendatang. Aplikasi "Bali Road Map", lanjut Sobirin, bisa dimanfaatkan pemerintah daerah otonom di antaranya lewat mekanisme REDD. Pemerintah daerah harus mulai menghitung potensi hutan yang dimiliki karena kompensasi dimungkinkan dihitung untuk semua jenis hutan, di antaranya hutan lindung, produksi, dan konservasi. Potensi Jawa Barat untuk mendapat kompensasi dari hutan terhitung cukup besar. Menurut Sobirin, hutan yang ada di Jabar berkisar 800 ribu hektare. "Namun, dari hasil satelit menunjukkan hanya 300 ribu hektare hutan yang termasuk kategori sehat, lainnya kritis," katanya. Namun, masuk dalam penilaian atau tidak, lanjut Sobirin, sudah saatnya memulai untuk kembali menghijaukan hutan. "Kawasan hutan rakyat harus didorong menjadi kawasan hutan rakyat nasional." Terakomidasinya program REDD, menurut Masnellyarti Hilman, salah seorang anggota delegasi RI, melebihi target Indonesia. "Selama ini, konsep mengenai hutan belum pernah dibicarakan sebelumnya dan akhirnya kita mencapai hasil optimal," ujarnya. Broker karbon Peneliti lingkungan dari Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Unpad Bandung, Chay Asdak, Ph.D., mengkhawatirkan berlangsungnya program REDD di Indonesia hanya akan membuat menjamurnya broker karbon di tengah-tengah pemerintah daerah pemilik hutan. "Berdasarkan hasil kajian, sejumlah calo atau broker sudah menembus taraf gubernur terkait proses REDD," katanya. Proses sertifikasi REDD yang rumit dan belum disederhanakan menjadi celah yang bisa dimanfaatkan para broker tersebut untuk mendapat keuntungan. Apalagi, menurut Chay, bagian degradasi dalam REDD masih belum dibahas sampai tuntas sehingga konteks tersebut masih akan berlanjut sampai pertemuan di Kopenhagen pada 2009 mendatang. "Jangan sampai yang mendapat untung hanya pemerintah dan pihak swasta saja. Masyarakat yang selama ini hidup dari hasil hutan juga harus masuk dalam program tersebut," imbuhnya. Terkait bahasan mitigasi lewat transfer teknologi, lanjut Chay, negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada enggan memiliki kewajiban yang mengikat untuk membantu negara berkembang bertahan di tengah perubahan iklim. "Kalau mereka meresponsnya dengan invasi teknologi dengan mendirikan pabrik di Indonesia, kita akan terhambat dengan masalah paten yang akhirnya mengubah kesepakatan dunia itu menjadi komersial semata," ujarnya. "Diperlukan mekanisme internal untuk mengatur hal tersebut lebih lanjut sehingga Indonesia tetap diuntungkan." (A-158) Post Date : 17 Desember 2007 |