|
BEKASI -- Pengemudi truk sampah mengaku tidak mendapatkan uang lembur dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Sebanyak 200 sopir truk sampah milik Provinsi DKI Jakarta mendatangi kantor pengelola tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang, PT Patriot Bangkit Bekasi (PT PBB), kemarin (8/3) sekitar pukul 09.00 WIB. Para sopir meminta pengelola segera mengoperasikan alat-alat berat yang diberhentikan sejak Senin (7/3) malam lalu. "Saya tiba di sini Senin kemarin (7/3) sekitar pukul 14.00 WIB," ujar Syamsudin (28 tahun), seorang sopir truk sampah yang masih terlihat masih antre di zona dua TPA Bantargebang hingga Selasa (8/3) siang. Menurut Syamsudin, PT PBB mengatakan kepada para sopir bahwa alasan tidak beroperasinya alat-alat berat, seperti beco dan eskavator, karena persediaan solar bagi pengoperasian alat-alat tersebut tidak ada. "Pengelola bilang, retribusi dari Jakarta terlambat sehingga membeli bahan bakar juga telat," paparnya. Berdasarkan pantauan Republika di TPA Bantargebang, masih terlihat antrean panjang puluhan truk sampah yang membawa sampah dari wilayah DKI Jakarta di zona dua dan zona tiga. Beberapa sopir yang menuturkan bahwa alat-alat berat tersebut baru kembali dioperasikan sekitar pukul 12.00 WIB (Selasa, 8/3). "Itu pun hanya tiga sampai lima buah beco saja yang dioperasikan di setiap zona," tandas Hidayat (46), sopir truk sampah lainnya yang ditemui sedang antre di zona tiga. "Kalau kondisinya seperti ini bisa-bisa baru jam enam sore nanti saya balik ke rumah," komentar Syamsudin yang sehari-hari membawa sampah dari daerah Kalibata Jakarta Selatan ini. Nasib yang lebih baik dialami oleh Tarli (35). Sopir truk yang biasa membawa sampah dari Cempaka Putih Jakarta Pusat ini tidak harus menginap semalaman di TPA Bantargebang. "Saya baru sampai tadi pagi (Selasa, 8/3) pukul 10.00 WIB," ungkap Tarli. Meski mereka terpaksa bermalam di lokasi pembuangan sampah karena harus menunggu giliran, para pengemudi truk sampah mengaku tidak mendapatkan uang lembur dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta. "Kalau gaji ya tetap setiap bulannya Rp 800 ribu, meski kadang kita terpaksa harus nginap di sini," ujar Tarli dan Syamsudin. Diakui para sopir ini, sejak pengelolaan TPA Bantargebang diambil alih oleh PT PBB, kondisi seperti ini kerap kali terjadi. "Ini sudah yang kesekian kalinya. Sudah tidak terhitung yang keberapa kalinya ini," papar Tarli. Tarli dan Syamsudin menuturkan bahwa pada saat pengelolaan TPA masih dipegang oleh Pemda DKI, alat-alat berat bisa dioperasikan selama 24 jam penuh. "Pas dipegang PT PBB, keadaannya seperti ini yang terjadi," tambahnya. Para sopir ini juga menginginkan agar kondisi pengelolaan TPA Bantargebang seperti pada saat dipegang oleh Pemda DKI Jakarta. "Kami minta supaya pembuangan sampah berjalan lancar setiap harinya, sehingga kami hanya membutuhkan waktu untuk antre sekitar dua jam-an," himbau Syamsudin. Dirut Utama PT PBB, Agus Riyadi Iskandardinata, mengungkapkan keterlambatan operasional alat berat lantaran pihaknya kekurangan suplai bahan bakar. "Di sini suplai bahan bakarnya kurang. Tahu sendiri sekarang solarnya naik," ujarnya berkelit. Agus juga mengakui keterlambatan pembayaran tipping fee dari Pemda DKI. Ini berdampak kepada pembayaran operasional alat berat. "Ya sudah sejak bulan Desember tipping fee dari DKI belum dibayar. Meski begitu, kami tetap berusaha untuk tetap beroperasi meski ada kendala dalam pembayaran tipping fee," tandasnya. Seperti diketahui pihak DKI Jakarta wajib membayar Rp 52.500 setiap ton sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang. Namun sejak bulan Desember tahun lalu uang retribusi tersebut belum juga dibayarkan.(c25) Post Date : 09 Maret 2005 |