|
Petamburan masih bertabur pengungsi korban banjir, Selasa (6/2). Sudah hampir satu minggu air menggenangi ratusan rumah yang berbatasan dengan Banjir Kanal Barat. Di Jakarta Pusat, selain Petamburan, Stasiun Tanah Abang, sebagian Pasar Tanah Abang, dan perkantoran di Jatibaru juga tak luput dari rendaman air. Untuk setiap kawasan, seperti di Petamburan, terdapat 4.000 keluarga yang rumahnya berkalang air. Situasi darurat terasa kental. Di sepanjang jalan dari arah Slipi hingga Jembatan Tinggi, Tanah Abang, posko-posko bantuan banjir bertebaran. Jalan Aipda KS Tubun, Jakarta Pusat, menjadi tempat kering terdekat yang dapat dicapai warga dari bantaran Banjir Kanal Barat untuk sejenak melupakan banjir. Memasuki Gang Masjid Lama, Tanah Abang, di mulut gang, lembar-lembar baju basah bertengger di sepanjang pagar besi Masjid Al Islam. Di salah satu mushala dalam permukiman gang-gang sempit itu berkumpul puluhan pengungsi. Anak balita, remaja, dan orang dewasa tertidur dengan baju seadanya. Ibu-ibu sibuk menyiapkan makanan dan minuman hangat di dapur umum beratap terpal biru. Beberapa laki-laki berseragam polisi dan tentara mondar-mandir sambil memanggul ban dalam. Pemandangan serupa juga ditemukan di gang-gang sempit lain di kawasan Petamburan hingga Tanah Abang. "Sudah waktunya mengantarkan makan siang. Banyak warga yang tetap bertahan di lantai atas rumahnya meski lantai dasar sudah terendam air. Biasanya, jika masih kuat, mereka mengambil sendiri jatah makannya ke posko. Kami cuma berpatroli dan mengantarkan makanan bagi beberapa warga lanjut usia yang berusaha tetap bertahan di rumahnya," kata Nugroho (22), seorang polisi muda berpangkat bayangkara dua. Nugroho tidak sendiri. Ada lebih dari 10 polisi yang, menurut dia, "berpangkat rendahan", bertugas membantu korban banjir di Masjid Lama dan daerah di sekitarnya. Selain kepolisian, ada pula tim dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). "Di sini kami tidak mempersoalkan dari TNI atau polisi atau masyarakat. Pokoknya kami cuma melaksanakan tugas," kata Ahmad (25), anggota TNI AD berpangkat prajurit satu. Ahmad menceritakan, daerah asalnya di Tegal, Jawa Tengah, juga tengah dilanda banjir. Meski tidak dapat pulang membantu korban banjir di kampungnya, berada di tengah-tengah warga korban banjir di Jakarta sudah seperti berada di antara saudara-saudaranya sendiri. "Kami ini sama-sama miskin, tidak ada bedanya, apalagi kalau sudah terkena bencana seperti ini," ujar Nugroho lagi yang kemarin, sekitar pukul 10.30, menanggalkan baju seragamnya. Ia hanya mengenakan kaus ketika membantu ibu-ibu mengaduk nasi di dapur umum. Selasa siang, ketika genangan air agak turun, beberapa aparat keamanan dan warga laki-laki masuk kembali ke pedalaman gang. Mereka menuju rumah-rumah warga. Mereka menyusuri genangan dengan membawa tempat yang terapung bersama ban dalam ukuran besar. Di dalamnya terdapat nasi bungkus dan beberapa barang bantuan lainnya. Tugas mereka, sembari mengantarkan makanan, mengecek keamanan di permukiman warga serta memastikan penghuni dalam kondisi sehat dan selamat. Warga yang ditemukan sakit harus dipaksa dievakuasi dari rumahnya. Air setinggi dada berwarna coklat mereka tembus. Sambil berenang lambat, mereka menembus "sungai" dadakan tersebut langsung menuju rumah-rumah yang sudah amat dikenal karena sejak empat hari lalu tugas itu rutin mereka lakukan. Menjaga rumah Lasinah (70), salah seorang penghuni yang tetap tidak mau mengungsi, mengatakan, tidak ada lagi tujuan hidupnya selain menjaga rumah yang ditempati bersama keluarga anak sulungnya itu. Rumahnya berlantai dua meski hanya dari susunan papan kayu beratap genteng. "Saya sudah susah bergerak. Akan lebih baik jika saya tetap di rumah yang sudah amat saya kenal. Kalau ada orangnya, pencuri juga sungkan masuk rumah," kata Lasinah. Anak, menantu, dan cucu laki-lakinya yang berumur dua tahun sudah mengungsi ke masjid di depan gang. Anak laki-lakinya bersama beberapa warga, termasuk aparat keamanan setiap hari menengok Lasinah sambil mengantarkan obat nyamuk, lampu petromaks, dan pakaian hangat, selain antaran nasi bungkus dua kali sehari. Di rumah bertingkat tapi amat mungil ini terlihat kasur tergulung dan buntalan berisi pakaian di atas salah satu meja. Memanfaatkan air hujan yang ditampung dalam ember, kebutuhan air untuk sekadar cuci muka dan kebutuhan MCK masih terpenuhi. "Bagi warga di sini, harta benda walau cuma kasur busa tipis memang amat berharga. Uang Rp 1.000 saja amat berharga, apalagi sampai puluhan ribu. Kalau ada barang yang rusak atau hilang, tentu sulit membelinya lagi," kata Purnomo (28), anak Lasinah, pedagang buah di Pasar Tanah Abang. Purnomo mengaku pernah tidur di rumahnya. Selain menemani ibu, kehadirannya di rumah juga untuk memastikan para penjarah yang biasa memanfaatkan rumah kosong di waktu banjir enggan datang. Penjarahan saat bencana banjir bukan hal baru. Kejahatan ini terus berulang setiap kali bencana rutin ini menyerang warga. Warga yang apes karena kebanjiran semakin apes karena harta bendanya turut ludes. Menurut Purnomo, para penjarah datang dari arah berlawanan dari permukiman, yaitu dari seberang BKB. Lingkungan sekitar yang gelap total pada malam hari karena listrik sengaja diputus demi menghindari hubungan arus pendek menguntungkan gerak para penjarah. Mereka berenang menyeberang, sambil membawa perahu kecil atau wadah lain untuk tempat membawa barang jarahan. Cerita senada juga diungkapkan Ketua RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Syarimsah. Permukiman Bukit Duri yang berada tepat di bantaran Kali Ciliwung selalu diserang banjir tahunan. "Pernah ada penjarah tertangkap tahun lalu. Ia hanya pakai cawat dan selempang sarung, mencapai kampung yang terendam dengan berenang menyeberangi Ciliwung. Suatu hal yang tidak pernah diduga warga. Tidak heran jika sekarang banyak yang memilih bertahan menjaga rumah masing-masing," kata Syarimsah. Ancaman penjarahan dan sulitnya medan evakuasi, seperti perumahan di gang-gang sempit yang sulit ditembus perahu karet, menyebabkan warga di beberapa lokasi, seperti di RW 12 Bukit Duri, membentuk satgas patroli banjir. Hal ini disebabkan tidak pernah adanya jaminan keamanan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun-tahun sebelumnya. Sedikit berkurang Namun, tahun ini ketakutan warga sedikit berkurang. Syarimsah, Purnomo, dan warga korban banjir lain merasa terbantu dengan kehadiran polisi dan tentara. Total jumlah aparat keamanan yang diperbantukan di seluruh Jakarta adalah 4.500 anggota TNI dan 7.500 anggota Polri. Pasokan bantuan itu sebenarnya dihimpun bersama sejumlah petugas dari instansi lain di bawah koordinasi Pemprov DKI, yaitu 7.103 petugas Dinas Tramtib dan Linmas, 7.172 petugas dari berbagai dinas di Pemprov DKI, 15.000 relawan PMI, dan 130 anggota SAR. "Semua relawan dari beberapa instansi amat membantu warga. Namun, untuk urusan menembus gang-gang sempit dipenuhi air serta evakuasi warga, termasuk ketahanan tubuh yang stabil sehingga dapat terus bertahan berhari-hari membantu warga adalah para polisi dan tentara itu," kata Wali Kota Jakarta Pusat Muhayat. Saat ini polisi dan tentara berbaur dengan korban banjir membentuk satuan tugas pengamanan kawasan, di antaranya di Petamburan dan Tanah Abang, Jakarta Pusat, serta di Jakarta Timur. (Neli Triana) Post Date : 07 Februari 2007 |