Radikalisasi Manajemen Air Bersih

Sumber:Jawa Pos - 09 Agustus 2010
Kategori:Air Minum

SOLO - menghadapi ancaman krisis air bersih (Radar Solo, 7/8). Menakutkan. Padahal, air adalah kebutuhan utama bagi manusia. Tidak bisa dibayangkan dampaknya terhadap tata kehidupan jika krisis air bersih itu benar-benar terjadi. Apalagi, ketersediaan air bersih di Solo tidak sampai 40 persen dan diperkirakan hanya untuk waktu dua tahun jika tidak ada upaya untuk mengatasinya.

Ironis memang jika sampai daerah Solo dan sekitarnya mengalami krisis air. Tentu ada yang salah dengan manajemen sumber daya air. Sebab, posisi geologi sudah menunjukkan bahwa kecukupan air bagi warga Solo digaransi oleh potensi alam sekitar. Solo adalah sebuah kota cekungan yang berada di antara dua gunung, yaitu Merapi-Merbabu dan Lawu. Karena itu, Solo merupakan daerah yang seharusnya kaya dengan sumber daya air.

Lagipula, Solo juga menjadi bagian utama dari sistem daerah aliran sungai (DAS). Karena itu, ancaman krisis air bersih tersebut bukan diakibatkan keterbatasan sumber daya alam, tapi lebih pada faktor manajemen pengelolaan. Dengan kata lain, krisis itu terjadi karena faktor sumber daya manusianya. Dalam konsep ilmu lingkungan, krisis air bersih terjadi karena tekanan populasi manusia. Manusialah yang jadi penyebab utama krisis air tersebut.

Jika penyebabnya adalah faktor manusia, berarti pada metodologi pengelolaan air yang diterapkan ada kesalahan. Katakan saja dengan asas otonomi daerah yang diagung-agungkan dewasa ini dan selalu dipahami dalam batas-batas administratif. Padahal, sifat air seperti udara tidak mengenal batas administratif. Karena itu, Solo yang tidak memiliki sumber mata air pasti akan celaka karena sebagian besar sumber mata air berada di luar administratif Kota Solo.

Seperti halnya sungai yang tidak pernah mengenal batas administratif. Bengawan Solo pun akhirnya juga ke laut setelah melewati dua provinsi dan delapan kabupaten. Padahal, hulu Bengawan Solo berada di Wonogiri. Jika otonomi daerah dipahami terus-menerus dalam konteks administratif, dengan cepat krisis air bersih segera melanda Kota Solo. Tidak ada kata lain untuk mengatasi krisis tersebut kecuali dengan melakukan radikalisasi manajemen air, khususnya air bersih.

Radikalisasi manajemen adalah perubahan paradigmatik bagaimana setiap orang memandang secara mendasar tentang air dan pemanfaatannya serta pengelolaannya. Jika pemanfaatan dan pengelolaan itu dilembagakan, bentuk kelembagaan itu harus berubah secara mendasar. Yaitu, dalam bentuk sebuah konsorsium yang anggotanya seluruh kota dan kabupaten di Solo dan sekitarnya.

Bila setiap kebutuhan air bersih hanya menjadi tanggung jawab lembaga di masing-masing kota dan kebupaten tanpa adanya sinergi, selamanya air akan menjadi isu utama soal hajat hidup di masa mendatang. Mungkin dalam waktu dekat, warga Kota Solo khususnya kelas menengah ke bawah akan membeli air bersih seperti terjadi di Jakarta dengan jeriken-jeriken yang ditawarkan pedagang air keliling.

Mungkin krisis air juga bukan hanya terjadi di Kota Solo. Karanganyar kota pun yang kabupatennya punya banyak sumber mata air juga akan mengalami masalah air bersih. Kasus pemanfaatan sumber mata air Watupawon di Kemuning oleh PDAM Karanganyar ditentang oleh para petani di bagian hilir. Padahal, secara administratif sumber air Watupawon berada di Kecamatan Ngargoyoso. Warga kecamatan di bagian hilir khawatir air dari Watupawon akan mengancam irigasi persawahan mereka. Jadi, ada kontradiksi kepentingan. Yang di hulu setuju, yang di hilir menentang.

Karena itu, radikalisasi manajemen air harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Tidak boleh ada ego sektoral. Sebab, air merupakan berkat dari Tuhan untuk semua manusia. Kita sudah diberi contoh sumber air zamzam di Kota Makkah dan berkah bagi Kota Madinah. Yang harus diilhami dari contoh tersebut adalah ada sebuah konsorsium tunggal yang mengelola sumber-sumber air "zamzam" (dalam bahasa Arab, kata zamzam berarti banyak, melimpah-limpah) di Surakarta untuk hajat kehidupan seluruh warga kawasan Surakarta. Bisa saja PDAM masing-masing kota dan kabupaten bermanifes dalam satu wadah tunggal yang berbentuk konsorsium untuk mengatasi krisis air.

Tanpa radikalisasi manajemen pengelolaan air, persoalan krisis air tidak akan teratasi. Bagi Kota Solo, tentu harus ada kesadaran bahwa kebutuhan air bersih adalah sebuah upaya yang akhirnya mahal secara harga. Sebab, biaya operasional bukan saja menyangkut pengelolaan air, tapi juga cara melakukan reklamasi dan konservasi di wilayah sumber mata air yang menjadi tanggung jawab bersama. Tapi, mahalnya harga operasional pengelolaan air untuk masyarakat masih lebih mahal jika dibandingkan dengan ketika setiap warga Solo harus membeli air dalam kemasan. (tunjung_ws@yahoo.co.id)



Post Date : 09 Agustus 2010