|
RACUN tapi disebut pupuk. Itulah kenangan warga Pulau Galang tentang hadirnya ratusan ton pupuk hitam ke daerah mereka sekitar lima tahun silam. Setelah lewat berbagai protes dan lika-liku, akhirnya ”pupuk” itu memang keluar dari Galang. Warga berhasil mendesak pemerintah dan PT Asia Pacific Eco Lestari (Apel), pengimpor ”pupuk” itu, mengirim kembali bahan berbahaya beracun itu ke Singapura. Kasus ”pupuk tapi racun” itu berlabuh pula sampai meja aparat hukum. Kendati Markas Besar Kepolisian sempat turun tangan, bisa dibilang penanganan kasus ini tak tuntas. Dari empat tersangka, yakni Irawan Dharsono (Direktur Utama Asia Pacific Eco Lestari), Rudy Alfonso (direktur), Ong Gin Keat (direktur), dan Fredy Boy (manajer pelaksana), hanya Rudy yang diadili. Vonis untuk Rudy pun hanya enam bulan. Tersangka lainnya tak terlacak. Keterlibatan sejumlah tokoh yang sempat diributkan pun menguap begitu saja. Salah satu orang penting yang disebut-sebut terlibat kasus ini adalah Setya Novanto. Politikus Golkar itu kental disebut ada di belakang impor pupuk palsu itu. Meski sempat menjalani pemeriksaan tim penyidik, status Setya sebatas saksi. Menurut kesaksian notaris Eben Eser L. Tobing di pengadilan, Setya Novanto bersama Irawan Dharsono dan Rudy Alfonso membuat akta pendirian PT Apel. Sejak 29 Juli 2004, Setya menjabat komisaris perusahaan itu. Baru pada 30 Agustus 2004, Setya mengundurkan diri. Artinya, ia mundur setelah 12 hari kasus impor limbah itu diributkan media. F akta tersebut tak dianggap cukup bagi penyidik untuk menetapkan Setya sebagai tersangka. Sumber Tempo di Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyebut, aparat tak bisa menjerat Setya karena tak menemukan dokumen keterkaitan Setya dengan PT Apel. Sumber itu menyatakan, kasus limbah PT Apel menguap karena beberapa hal. Antara lain, biaya untuk mengusut kasus ini sangat besar dan tak sebanding dengan hukuman bagi pelakunya. Untuk memburu Rudy Alfonso dan membiayai perawatan sakitnya, menurut sumber itu, Kementerian Lingkungan mengeluarkan biaya tak kurang dari Rp 500 juta. ”Eh, hukumannya cuma enam bulan.” Penyebab lain, adanya intervensi politik dari seorang petinggi partai. ”Dia melobi Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar agar kasus ini tak diperpanjang,” ujar sang sumber. Tapi, kepada Tempo, Rachmat Witoelar membantah adanya intervensi itu. Kasus impor limbah PT Apel ini bermula dari didatangkannya 1.149 ton limbah beracun dan berbahaya (B3) ke Pulau Galang, Batam. Limbah berupa butiran kristal hitam bercampur potongan ranting itu masuk ke Pulau Galang pada 28 Juli 2004. Limbah ini diakui sebagai pupuk organik media tanam, sehingga diizinkan masuk oleh Bea dan Cukai. Namun belakangan, dari hasil pengujian, ternyata barang tersebut mengandung zat beracun seperti arsen, kadmium, dan seng. ”Pupuk” itu juga mengandung radioaktif, yang kadar radiasinya 100 kali di atas normal. Kasus ini sempat diributkan media, hingga mengundang reaksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kasus ini pun ditangani polisi, sementara warga berkali-kali berunjuk rasa menuntut pupuk itu dienyahkan dari tanah mereka. Meski kini kasus itu tak terdengar lagi, kepada Tempo, Kepala Unit Intelijen dan Keamanan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Komisaris Polisi Puja Laksana, menegaskan pihaknya sampai kini masih memburu tiga tersangka pengimpor racun yang buron itu. ”Kasus ini masuk daftar yang harus diselesaikan,” katanya. Sekretaris Komisi Hukum DPRD Kota Batam, Onward C. Siahaan, juga menuntut aparat terus mengungkap kasus ini. ”Kasus ini tidak boleh menguap begitu saja,” katanya. Ramidi, Munawwaroh, Rumbadi Dale (Batam) Post Date : 02 Februari 2009 |