|
MEMBICARAKAN banjir di Jakarta tentu tidak semata-mata memperbincangkan sebuah bencana alam buah tangan Tuhan. Perubahan tata guna lahan, penyimpangan rencana tata ruang wilayah, makin berkurangnya daerah resapan air, makin padatnya rumah-rumah di bantaran kali, pengurukan tanah di sana sini, dan segudang persoalan lain bisa disebut sebagai "biang keladi" terjadinya banjir. Bahkan, kalangan tertentu sering mengaitkannya dengan makin munafik dan berdosanya manusia sehingga patut diberi hadiah banjir. "BANJIR di Jakarta jauh lebih kompleks dari yang diperkirakan orang," kata Bambang Sucipto Yuwono mengawali perbincangannya dengan Kompas, Kamis (10/3) pekan lalu. Bambang memang mengerti betul segala tetek bengek soal banjir di Ibu Kota, mengingat jabatannya sebagai Pimpinan Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC) Departemen Pekerjaan Umum. Bambang yang lahir di Yogyakarta, 16 Agustus 1958 bukanlah perumus kebijakan soal banjir, apalagi menentukan anggaran. Porsi lelaki lulusan Teknik Sipil (Pengairan) Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (1985) dan Master of Water Resources Engineering Asian Institute of Technology Bangkok (1990) ini adalah turun ke sungai, memeriksa tanggul, atau menginstruksikan penggunaan pompa mobile. "Saya ini kerjanya setelah ada DIP (daftar isian proyek), he he," ujar suami dari Yullya Wisjnarti dan bapak dua anak bernama Rossmansi Wahidsuro dan Nanda Rossalia ini terkekeh. Bambang dipercaya menangani Ciliwung dan Cisadane sejak tahun 2002, seusai banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya. Namun, PIPWSCC sendiri sebenarnya sudah menyejarah. Proyek itu dibentuk semasa Presiden Soekarno pada tahun 1960-an dengan nama Komando Proyek (Kopro) Banjir. Nama Kopro Banjir lalu berubah menjadi Banjir Jaya, dan akhirnya PIPWSCC sampai sekarang dengan pimpinan proyeknya Wahyu Hartomo. Wilayah kerja PIPWSCC meliputi wilayah Jabodetabek, mulai Cikarang sampai Tangerang yang dihuni belasan juta penduduk. Di sela-sela pekerjaannya ngurusin sungai, Bambang tetap menyempatkan diri bermain musik yang merupakan hobinya sejak masih sekolah. Berikut petikan wawancaranya: Di musim hujan awal tahun ini, banjir besar sudah melanda beberapa kali. Mengapa ini bisa terjadi, padahal setiap tahun ada program pengendalian banjir? Mengapa tidak ada perbaikan? Sebenarnya sudah ada perbaikan, misalnya banjir kanal barat. Sejak tahun 2002, kami sudah mengeruk dasar sungai mulai dari pintu air Manggarai hingga Pantai Indah Kapuk. Kami mengeruk 600.000 meter kubik tanah. Memang, penanganan banjir yang demikian itu adalah untuk tujuan jangka pendek. Yang harus dilakukan sebenarnya adalah normalisasi sungai dari hulu ke hilir, terutama di ruas-ruas kritis, seperti di Kampung Melayu. Normalisasi juga bisa menekan risiko dan kerugian jika banjir. Namun, normalisasi tetap harus dilanjutkan dengan perbaikan daerah aliran sungai dan juga pemeliharaan yang memadai. Mengapa itu tidak segera dilakukan, itu menyangkut masalah sosial yang kompleks. Saat ini situasi sudah berubah. Bantaran sungai sudah penuh rumah. Itu belum masalah genangan di jalan. Sekarang ini kan air tidak mengalir di sungai, tetapi di jalan. Masih ada lagi kendala anggaran. Berapa dana yang dibutuhkan? Perhitungan tahun 2002, dana mencapai Rp 10 triliun. Selain normalisasi sungai? Misalnya pembuatan Waduk Ciawi di Gadog, Megamendung Bogor. Itu sebuah cara untuk mengendalikan Kali Ciliwung mulai dari atas. Tapi itu kan proyek sangat besar dan membutuhkan dana besar serta waktu yang lama karena menyangkut pembebasan lahan. Kalau ada Bendung Ciawi, memang pengendalian Ciliwung menjadi signifikan. Dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta, mengapa selalu Kali Ciliwung yang banjir sehingga berdampak sangat luas? Karena Ciliwung mengalir melalui tengah kota Jakarta di mana banyak perkampungan dan perumahan padat serta ramai. Dampak sosial dan ekonominya sangat besar. Jika banjir terjadi sampai ke jalan, jalan menjadi macet dan roda perekonomian sangat terganggu. Banyak kantor tutup, anak sekolah pun libur. Problem Sungai Ciliwung sangat banyak. Sungai itu paling rusak dibanding sungai lain. Daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu di Bogor sana saat ini sudah rusak. Sampai di Jakarta, terjadi banyak penyempitan. Di muaranya di Jakarta Utara, terjadi sedimentasi atau pendangkalan. Lengkap sudah derita Ciliwung. Penyempitan itu terjadi misalnya mulai dari Pengadegan sampai Kampung Melayu. Dari lebar sungai yang seharusnya 60 meter saat ini sudah menyempit menjadi delapan meter. Kalau mau melihat dari udara, lebar sungai itu lebar lalu menyempit, lebar lagi, menyempit lagi. Kalau Ciliwung yang mengalir antara Bale Kambang dan Pejaten, itu masih asli dan sungainya juga masih dalam. Karena sungai mengalir di tengah kota, maka jangan heran kalau melihat tiang listrik di tengah sungai, atau utilitas lain. Masih ada lagi problem lain. Jika terjadi aliran dari hulu dengan debit besar, anak-anak sungai Ciliwung juga terkena dampak karena alirannya menuju Ciliwung terhambat sehingga membalik. Banjir pun bisa ke mana-mana. Padahal, anak-anak sungai itu banyak sekali, misalnya Sungai Ciluar dan Cikumpa yang juga punya anak lagi, yaitu Sungai Citeko. Bagaimana dengan sungai lain, Cisadane misalnya? Sebenarnya kalau dilihat dari besarnya sungai, Cisadane-lah yang paling besar. Panjangnya sekitar 250 kilometer lengkap dengan kelokannya, kalau Ciliwung panjangnya sekitar 150 kilometer. Debit banjirnya (Cisadane) pun paling besar, bisa mencapai 1.500 meter kubik per detik untuk banjir 50 tahunan (Q-50). Sungai ini paling banyak berada di wilayah Tangerang dan yang dilalui masih persawahan, jadi dampaknya kurang begitu diperhatikan. Kali Bekasi juga termasuk besar, merupakan pertemuan Kali Cikeas dan Cileungsi yang juga hulunya di Kabupaten Bogor. Tipikal problemnya juga hampir sama dengan Ciliwung. Bahkan, banjir terakhir pada tanggal 5 Maret kemarin itu sangat besar sampai melimpas di atas tanggul di Kali Bekasi, tepatnya di Pondok Gede Permai dan Vila Jati Rasa. Kemarin itu, hampir semua perumahan di Bekasi kebanjiran karena Kali Bekasi ini kan memanjang terus sampai Sungai CBL (Cibitung Bekasi Laut) dan bermuara di Muara Gembong. Banjir waktu itu hanya sebentar, tetapi airnya sangat banyak sehingga erosinya pun banyak. Kondisi air juga jelek, berlumpur. Sampai sekarang pun, lumpur yang sampai ke Kalimalang masih 10-20 sentimeter. Problem Kali Bekasi, sungai sudah terdegradasi oleh pengendapan dan sudah sangat lama, jadi ya sama saja rusak seperti Ciliwung. Hanya saja, meski penyempitannya tidak separah di Ciliwung. Dirjen Sumber Daya Air Basuki Hadimulyono pernah mengatakan, sulit untuk mengendalikan Kali Krukut dan Pesanggrahan. Apa jalan keluar untuk dua sungai itu? Ya. Memang dua kali itu sepertinya hulunya ada di Jakarta Selatan sehingga kalau banjir yang terkena dampak adalah daerah Kebon Jeruk, Tanah Kusir, dan sekitarnya. Padahal kalau ditelusuri, hulunya ada di Bendung Empang, Kabupaten Bogor bagian barat, yang juga merupakan hulu Sungai Cisadane. Setelah kami telusuri, ternyata Ciliwung dan Cisadane sudah dengan sendirinya terhubung melalui Sungai Krukut. Di tengah-tengah sungai Krukut, ada dua situ untuk menampung air, salah satunya Situ Pitara. Sungai Pesanggrahan juga kalau ditelusuri hulunya ada di Bendung Empang itu. Jadi, sungai-sungai di Jabotabek itu ternyata saling sambung-menyambung. Tidak semuanya sungai asli, namun sungai buatan yang sudah dibuat sejak Belanda, salah satu fungsinya untuk pengairan atau irigasi. Sama juga dengan Ciliwung, Krukut, dan Pesanggrahan, juga sudah terjadi penyempitan dan pengendapan. Hanya saja, kedua sungai itu relatif kecil dibanding Ciliwung. Kalau banjir, debit airnya mencapai 60 meter kubik per detik, sedangkan Ciliwung bisa sampai 500 meter kubik per detik. Bagaimana dengan sungai- sungai lain yang lebih kecil seperti Sungai Mookervart, Grogol, Sekretaris, atau Angke? Sejauh mana pengaruhnya? Dua sungai besarnya, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, itu mempunyai anak sungai yang sangat banyak. Anak sungai itu mempunyai anak lagi hingga sampai ke sungai-sungai kecil yang disebut sungai rambut. Sungai Mookervart atau Angke, misalnya, bisa saja banjir, namun terjadi kalau alirannya tertahan sungai besarnya. Jadi tidak mungkin hanya Sungai Mookervart saja yang banjir sementara sungai besarnya tidak. Meskipun begitu, kalau proses pendangkalan dan penyempitan berjalan terus, bisa saja terjadi banjir. Bagaimana sebenarnya urutan sungai kalau dilihat dari dampaknya saat banjir? Kalau untuk wilayah Jabodetabek, urutan pertama adalah Sungai Ciliwung, menyusul Kali Bekasi, lalu Cisadane, Sunter, Pesanggrahan, Cipinang, Krukut, Jatikramat, Buaran, dan Sungai Cakung. Setelah itu, barulah sungai yang lebih kecil, seperti Sungai Grogol, Sekretaris, Mookervart, dan Angke. Namun karena Sungai Cisadane dan Bekasi sebagian besar berada di luar Jakarta, perhatiannya sangat kurang. (Catatan: Sungai Sunter, Cipinang, Jatikramat, Buaran, dan Sungai Cakung ini sebagian besar berada di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara sehingga akan disodet lewat proyek Banjir Kanal Timur yang saat ini masih dalam tahap pembebasan lahan). Bagaimana sebenarnya pembagian kerja antara pemerintah pusat dalam hal ini PIPWSCC Departemen Pekerjaan Umum dan Dinas PU DKI Jakarta? Kalau merujuk undang-undang, sungai lintas provinsi itu ditangani PU pusat, sedangkan sungai kecil ditangani DKI. Tapi, memang pembagian wewenang itu tidak kaku. Saya sendiri tidak sepakat jika penanganan sungai dibagi tegas antara pusat dan DKI. Mari kita bekerja bersama- sama, siapa yang selo (longgar waktunya). Soalnya, mengerjakan sungai itu menyangkut kemampuan pendanaan, tenaga, dan lainnya. Pada kenyataannya, ada wilayah yang seharusnya dikerjakan DKI, ya akhirnya kami yang mengerjakan. Namun, ada pula yang seharusnya dikerjakan pusat, tetapi DKI turun tangan. Kalau diatur kaku, buntutnya nanti saling melempar tanggung jawab. Misalnya, banjir kanal barat (BKB), nyatanya bisa dikerjakan bersama antara pusat dan DKI, padahal seharusnya wewenang pusat. Lalu tahun 2003 saat normalisasi Ciliwung Lama, seharusnya wewenang DKI, namun kami juga mengerjakan. Apa saja yang telah dilakukan PIPWSCC, sebut saja sejak tahun 2002? Selain pengerukan BKB, juga penguatan dan perbaikan tanggul-tanggul di pertemuan sungai di BKB. Di Cengkareng Drain, ada pengerukan muara. Untuk Sungai Sunter, kami telah mengeruk dua tahun berturut-turut, namun tentu hanya penggal-penggal sungai sepanjang 12 kilometer. Belum normalisasi total. Pengerukan Sungai Cipinang baru sepanjang dua kilometer, lalu Cakung Drain delapan kilometer. Untuk Kali Bekasi, kami mengerjakan penguatan tebing sampai CBL sepanjang 10 kilometer. Untuk Sungai Cisadane, muaranya dikeruk pada tahun 2003 lalu. Yang juga signifikan adalah pembuatan saluran di Sungai Tanjungan yang menuju airport, PU DKI bagian pembebasan lahannya. Lalu, rehabilitasi dan peningkatan kapasitas empat stasiun pompa, seperti di Setiabudi. Kalau di perumahan, sudah 30 stasiun pompa diperbaiki. Masih banyak lagi program kecil-kecil lain. Apa yang akan dilakukan untuk lebih bisa mengendalikan banjir di Ibu Kota? Membuat pintu air Manggarai satu lagi, diusahakan tanpa pembebasan tanah. Masih ada sisa lahan yang bisa dimaksimalkan untuk pembuatan pintu itu. Pintu air ini sangat signifikan mengurangi klogen atau penyumbatan di terowongan yang ada di bawah pintu. Terowongan sepanjang 35 meter itu selalu tersumbat dan ini menjadi masalah tersendiri, terutama menyangkut sampah. Kalau pembuatan pintu ini dikhawatirkan justru akan membanjiri daerah di seberangnya karena air makin menggelontor, hal itu bisa diatur dengan manajemen buka-tutup pintu air. Apa kendala terbesar untuk proyek pengendalian banjir ini? Kalau boleh disebut, ya kembali masalah anggaran. Kalau dihitung-hitung, di Jakarta dan sekitarnya ini ada sekitar empat juta penduduk yang kebanjiran. Namun, anggaran yang tersedia hanya Rp 6.000 per orang. Dana segitu habis untuk membeli nasi bungkus, he he. Yang juga tidak kalah penting adalah masalah persepsi orang. Masih banyak orang berpikir, banjir bukan urusan saya, karena saya tidak pernah kebanjiran. Padahal, banjir adalah masalah kita semua. Kalau orang tinggal di perumahan yang tanahnya adalah tanah urukan, dia tanpa sadar telah menyebabkan orang lain kebanjiran. Bagaimana menyadarkan masyarakat? Ya, itu tugas kita semua. Kita yang bisa menyadarkan diri kita sendiri. (Susi Ivvaty) Post Date : 14 Maret 2005 |